Kekecewaannya terhadap Jepang memuncak ketika ia melihat sendiri kebijakan yang membawa penderitaan besar bagi rakyat Indonesia. Praktik kerja paksa romusha menjadi titik balik.
Kebijakan kejam itu membuktikan bahwa janji pembebasan hanyalah ilusi. Ini disebut oleh (Kumparan, 2022). Ia tak bisa lagi membenarkan negaranya.
Lalu ia memilih berbalik arah. Keputusan itu radikal, dan ia tidak sendirian. Ada tentara Jepang lain, Tomegoro Yoshizumi, yang mengambil pilihan serupa dan ikut membela Indonesia. Kisah ini ditulis oleh (Historia.id, 2020).
Pilihan Ichiki juga menyeretnya ke sebuah insiden tragis. Ia pernah menyerahkan uang rampasan perang kepada Oto Iskandar Dinata, niatnya tulus untuk membantu perjuangan.
Namun niat baik itu berubah menjadi bumerang. Uang tersebut dipelintir menjadi fitnah, seolah Oto menjual Bandung kepada NICA.
Tuduhan pengkhianatan menyebar cepat, berujung pada penculikan Oto dan eksekusinya di Pantai Mauk. Peristiwa ini dicatat oleh (Kompas.id, 2022). Tragedi besar, dan niat baik Ichiki justru memicu malapetaka bagi sahabat seperjuangannya.
Melihat Ichiki sebagai manusia biasa justru membuat kisahnya lebih masuk akal. Ia bukan tokoh tanpa cela.
Ia seorang yang berjuang dengan batinnya sendiri. Motivasinya campur aduk: ada idealisme, ada rasa kecewa, mungkin juga rasa bersalah, plus kebutuhan untuk diterima.
Ceritanya tidak hitam putih. Dalam wilayah abu-abu itulah sosoknya menjadi utuh.
Ia gugur dalam pertempuran di Dampit, dekat Malang, saat menjabat wakil komandan pasukan gerilya. Peristiwa ini ditulis oleh (Tirto.id, 2023).
Begitulah ia terlihat lebih nyata. Sosok yang bisa kita pahami, meski tidak selalu mudah untuk dihakimi.