Dulu ada tradisi yang terdengar janggal: fotografi post-mortem. Praktik ini memotret orang yang sudah meninggal. Kedengarannya menyeramkan dan tabu, ya?
Tapi pada abad ke-19, ini justru wajar, bagian dari proses berduka (BBC News, 2016). Cara orang menyimpan kenangan, supaya yang pergi tetap tinggal dalam sebuah gambar.
Zamannya jauh berbeda dengan sekarang. Kematian terasa dekat di mana-mana. Revolusi Industri membawa banyak teknologi baru, tapi juga masalah sosial besar.
Kota-kota industri seperti London dan Manchester memadat, jutaan orang hidup berdesakan. Lingkungannya kotor, sanitasi buruk, penyakit gampang menyebar (National Geographic, 2023).
Harapan hidup rendah, angka kematian tinggi, terutama pada bayi dan anak-anak. Banyak keluarga kehilangan buah hati.
Di tengah duka, mereka ingin punya kenang-kenangan. Masalahnya, fotografi saat itu mahal dan lambat. Tidak semua orang sanggup membayar.
Sering kali satu-satunya kesempatan baru datang setelah seseorang wafat. Maka fotografi post-mortem menjadi jalan terakhir. Setidaknya keluarga pulang membawa potret fisik orang tercinta.
Para fotografer punya banyak trik untuk menciptakan ilusi kehidupan (The Getty Museum, 2018).
Jenazah dirias dengan pakaian terbaik, posenya diatur hati-hati. Kadang dibaringkan di ranjang supaya tampak seperti tidur. Kadang didudukkan di kursi dengan penyangga tersembunyi.
Anggota keluarga yang masih hidup ikut berpose di sampingnya, seolah kematian belum terjadi. Bagi banyak keluarga, foto seperti ini menjadi harta paling berharga.
Sebagian orang melihat praktik ini sebagai perayaan hidup. Cara tulus menghormati memori almarhum.
Kematian dipandang sebagai bagian alami dari kehidupan, bukan sesuatu yang harus disembunyikan atau ditakuti. Foto-foto itu memberi sedikit kendali atas duka. Yang tampak adalah wajah yang tenang, seperti tertidur panjang.
Tapi apakah ini murni perayaan cinta? Bisa jadi ada sisi lain. Mungkin ini juga bentuk penolakan terhadap kenyataan, upaya putus asa untuk menahan sakit.
Di sisi lain, ada urusan bisnis. Bagi para fotografer, duka adalah peluang. Semakin tinggi angka kematian, semakin banyak pesanan.
Lambat laun praktik ini menghilang (Babbel Magazine). Kualitas hidup membaik, angka kematian menurun.
Ada alasan lain yang lebih menentukan: revolusi teknologi. Kamera menjadi lebih murah dan praktis, puncaknya ketika Kodak merilis kamera Brownie pada 1900.
Tiba-tiba siapa pun bisa jadi fotografer. Orang tua memotret anak-anak mereka, keluarga membawa kamera ke piknik. Kenangan tidak lagi langka.
Kebutuhan memotret orang yang sudah meninggal pun lenyap. Kini, praktik seperti itu tinggal bertahan di ranah forensik.
***
Referensi:
- Babbel Magazine. (n.d.). A brief history of post-mortem photography. Diakses dari https://www.babbel.com/en/magazine/a-brief-history-of-post-mortem-photography
- BBC News. (2016, Maret 12). The grisly Victorian art of post-mortem photography. Diakses dari https://www.bbc.com/news/uk-england-35783333
- National Geographic. (2023, Oktober 26). The haunting tradition of post-mortem photography. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com/history/article/postmortem-photography-history-victorian-era
- The Getty Museum. (2018, Oktober 31). The mournful experience of post-mortem photography. Diakses dari https://www.getty.edu/news/the-mournful-experience-of-post-mortem-photography/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI