Keluarga Djajadiningrat bukan nama sembarangan. Di Banten, pengaruh mereka terasa kuat. Dari keluarga ini lahir banyak tokoh penting yang ikut mendorong pergerakan nasional (UIN Sunan Gunung Djati).
Ada bupati, ada akademisi, ada pula menteri. Wajar kalau satu pertanyaan terus muncul: sebenarnya dari mana asal-usul mereka?
Di tengah deretan prestasi itu, ada kisah yang sering mencuat. Katanya, leluhur mereka bukan bangsawan biasa.
Konon, ada garis yang berkelindan dengan komunitas Baduy yang terpencil.
Kabar yang terdengar mengejutkan ini bukan sekadar rumor. Dasarnya sebuah catatan pribadi, sebuah memoar penting berjudul Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (Jurnal Patanjala, 2015).
Achmad adalah figur sentral keluarga, dikenal sebagai Bupati Serang yang maju. Di bukunya, ia bercerita rinci. Ia mengaku mendapat penjelasan langsung dari seorang tetua adat Baduy. Inilah cerita yang kemudian ramai dibahas (Tirto.id).
Tetua itu bernama Naseuni. Ia menyebut leluhur Djajadiningrat adalah anak puun, pemimpin adat Baduy Cibeo. Sang anak meninggalkan desanya atas petunjuk gaib, menuruni aliran sungai hingga sampai di Banten, lalu mengabdi di Kesultanan Banten.
Kedengarannya meyakinkan, apalagi datang dari tokoh terpelajar dan berpengaruh seperti Achmad Djajadiningrat. Tapi di sini kita perlu menahan langkah sebentar.
Mari membaca dengan kepala dingin. Sejarah tidak bisa bertumpu pada satu sumber saja, terlebih jika sumbernya adalah kenangan pribadi.
Memoar itu sangat subjektif. Isinya kumpulan ingatan penulis, juga pilihan apa yang ingin ia simpan. Bias selalu mungkin hadir, sadar atau tidak.
Ada faktor lain yang patut dicatat: asal cerita yang dipakai Achmad. Ia bersumber dari tradisi lisan yang dituturkan oleh Naseuni.