Saat menyebut teh, pikiran kita sering melayang jauh. Ada bayangan hamparan kebun hijau yang tenang. Gambaran itu warisan masa lalu, ketika industri ini pernah berada di puncak. Sekarang, kilaunya memudar.
Selama dua dekade terakhir, produktivitas teh terus menurun. Angka-angka ini bercerita jelas: pada 2001, total produksi mencapai 166.867 ton dari lahan 150.872 hektare.
Dua puluh tahun berselang, produksinya turun menjadi 137.837 ton. Sementara luas kebun menyusut ke 102.078 hektare.
Di saat yang sama, pasar teh dunia justru tumbuh. Nilainya sudah ratusan miliar dolar. Ada jurang antara peluang pasar dan kondisi di lapangan.
Sumber masalahnya tidak satu. Kualitas produk sering kurang memadai. Banyak produsen belum memakai benih unggul dan praktik budidaya belum optimal. Biaya produksi pun tinggi.
Hasilnya bisa ditebak: teh Indonesia kalah bersaing, terutama dengan Sri Lanka, Kenya, dan Tiongkok. Kualitas yang rendah membuat harga jual kita kurang kompetitif, sehingga daya saing di pasar internasional melemah.
Pemasaran dan branding juga jadi batu sandungan. Sebagian besar teh Indonesia dijual tanpa merek dan hampir tanpa promosi yang membangun identitas.
Bandingkan dengan para pesaing yang berhasil menanamkan citra khas. Lihat saja Sri Lanka, yang memposisikan Ceylon Tea sebagai produk premium dunia.
Soal budaya konsumsi, ada pekerjaan rumah lain. Banyak konsumen di dalam negeri belum menaruh perhatian pada kualitas, mereka lebih mengejar harga terjangkau.
Situasi ini mendorong petani mengejar kuantitas, melepas teh curah dengan harga rendah. Lingkarannya sulit diputus: konsumen menekan harga, produsen mengorbankan mutu.
Menyalahkan selera pembeli juga tidak adil. Karena daya beli memang berperan besar.
Jalan keluarnya tetap kualitas. Tetapi harus ditemani efisiensi produksi. Tujuannya sederhana: teh bermutu bisa diakses pasar domestik yang luas.
Padahal potensi Indonesia besar. Perkebunan teh kita punya sejarah panjang dan posisi geografis yang menarik.
Ini aset nyata. Pemerintah memegang peran penting untuk mengangkat industri.
Ada lima prioritas yang perlu dikejar: ketersediaan SDM yang paham manajemen produksi, pemasaran yang berjiwa wirausaha, akses permodalan yang lebih mudah, penguatan struktur agrobisnis, serta kebijakan yang tepat.
Pemerintah perlu mendorong permintaan domestik dan mendukung pengembangan industrinya.
Dari sisi pasar, prospeknya menjanjikan. Nilai pasar global sekitar $220,7 miliar dan diproyeksikan terus bertambah.
Kita juga bisa belajar dari Vietnam. Luas lahannya tidak jauh berbeda. Namun produktivitas mereka jauh lebih tinggi, dengan produksi teh segar 1,1 juta ton. Artinya, perbaikan itu mungkin.
Jika Indonesia mampu membereskan persoalan di dalam negeri, bukan mustahil industri teh kembali bersinar.
***
Referensi:
- Indonesian Tea Development Outlook. (2022). Indonesian Tea Development Outlook: Challenges and Opportunities. Bogor: Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
- Nayantakaningtyas, J. S. (2017). Competitiveness of Indonesian Tea in International Market. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, 18(2), 1-15.
- Statista. (2023). Production of green and black tea in Vietnam from 2012 to 2022. Diperoleh dari https://www.statista.com/statistics/1089209/vietnam-tea-production/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI