Bagi banyak orang, hyperpop terdengar ganjil. Musiknya bising, nadanya suka meloncat tiba-tiba. Vokalnya kerap menjerit tinggi. Sekilas, rasanya seperti lelucon, seolah dibuat asal.
Tapi di balik hiruk-pikuk itu ada cerita penting. Hyperpop lama dianggap sebagai rumah bagi komunitas queer, tempat mereka bisa berekspresi sebebas-bebasnya (Them.us, 2021).
Gagasannya memang kuat. Estetikanya sengaja kacau, seperti menabrak aturan yang selama ini memegang musik pop. Pop biasanya rapi, strukturnya teratur, mudah ditebak. Hyperpop justru kebalikannya.
Banyak yang melihatnya sebagai bentuk perlawanan terhadap norma yang kaku. Terutama yang berkaitan dengan gender dan identitas.Â
Kesesuaiannya terasa wajar karena banyak pelopornya adalah musisi queer. Contohnya mendiang SOPHIE, produser trans yang visioner (Vulture, 2021).
Ada juga Charli XCX, sering dianggap ikon komunitas. Gerakan awalnya berpusat di label PC Music milik A. G. Cook. Karyanya menjadi fondasi genre ini (Pitchfork, 2016).
Lalu muncul pertanyaan. Apakah kebisingan itu lahir dari perlawanan? Atau justru kebalikannya? Mungkin tren suaranya sudah lebih dulu muncul, didorong oleh lompatan teknologi dan budaya internet.
Komunitas queer kemudian menemukannya, merasa inilah suara yang paling pas, yang bisa mewakili perasaan mereka. Mereka memberinya ruh dan makna baru. Teknologi menyediakan kanvas kosong. Komunitas queer melukis cerita di atasnya.
Sekarang hyperpop mulai menjejak panggung arus utama. Pengaruhnya terlihat di banyak tempat. Beberapa grup K-Pop mengadopsi estetikanya. Aespa, misalnya, terang-terangan terinspirasi hyperpop (NME, 2021).
Di satu sisi ini kabar baik, representasi queer makin terlihat. Di sisi lain, ada risikonya. Saat gerakan menjadi tren, pesannya bisa memudar. Apakah pendengar baru paham maknanya, atau hanya menikmati gayanya? Identitas perlawanan itu bisa terkikis, berubah menjadi sekadar komoditas musik.
Ada sudut pandang lain. Hyperpop bukan cuma soal perlawanan gender. Ia juga cermin zaman. Batas-batas makin kabur, termasuk batas antar genre. Pop, metal, dan EDM bisa bercampur jadi satu.
Semangat ini selaras dengan komunitas queer yang menolak pengotakan identitas. Peran platform digital juga jelas. Nama "hyperpop" membesar karena Spotify membuat daftar putar resmi pada Agustus 2019 (The New York Times, 2020).
Ini menunjukkan satu hal penting: gerakannya tidak sepenuhnya lahir dari bawah. Algoritma dan industri ikut mendorong.
Hyperpop adalah fenomena yang kompleks. Ia adalah musik perlawanan komunitas queer, dan peran itu nyata serta penting.
Di saat yang sama, ia lahir dari teknologi, internet, dan pasar musik. Kita perlu melihat semua lapisnya. Identitasnya akan terus bergerak, berubah seiring bertambahnya pendengar baru.
***
Referensi:
- Caramanica, J. (2020, November 10). How Hyperpop, a Small Spotify Playlist, Grew Into a Big Deal. The New York Times. https://www.nytimes.com/2020/11/10/arts/music/hyperpop-spotify.html
- Chan, M. (2021, May 26). Aespa's "Next Level" and the new wave of K-pop songs that are secretly remixes. NME. https://www.nme.com/en_asia/features/aespa-next-level-k-pop-remixes-g-idle-itzy-2953835
- Curto, J. (2021, January 30). The Life, and Death, and Life of SOPHIE. Vulture. https://www.vulture.com/article/sophie-profile.html
- D'Souza, S. (2021, March 9). How Hyperpop Became a Safe Space for LGBTQ+ Artists. Them. https://www.them.us/story/how-hyperpop-became-a-safe-space-for-lgbtq-artists
- Sherburne, P. (2016, September 22). The Rise of A. G. Cook and PC Music. Pitchfork. https://pitchfork.com/features/article/9726-the-rise-of-ag-cook-and-pc-music/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI