Pujian semacam itu justru jadi bahan bakar baru, membuat apinya makin menyala (BALANCE eating disorder treatment center).
Di balik layar, si pelaku bisa tersiksa. Rasa bersalah bisa meledak hanya gara-gara sepotong kue. Cemas memuncak saat tidak ada makanan organik. Perasaan-perasaan itu memberi sinyal ada yang tidak seimbang.
Kalau melihat lebih luas, orthorexia tidak muncul begitu saja. Tekanan dari dunia digital besar sekali.
Media sosial penuh foto makanan "sehat", influencer memamerkan tubuh ideal mereka (Toledo Center for Eating Disorders).
Pesan yang sering beredar: "kamu adalah apa yang kamu makan". Niatnya mungkin baik, tapi mudah berubah jadi tuntutan diam-diam untuk sempurna. Industri makanan sehat pun berkontribusi membentuk persepsi masyarakat.
Lalu bagaimana membedakannya? Ada orang yang menjalani diet karena alasan medis. Kuncinya ada di kondisi psikologis.
Mereka yang sakit mengikuti diet untuk manajemen kesehatan. Pengidap orthorexia lain cerita. Dietnya lahir dari rasa takut, cemas berlebihan, dan dorongan kuat untuk memegang kendali (HelpGuide.org).
Fokusnya bukan lagi kesehatan yang seimbang, melainkan kontrol mutlak atas setiap asupan. Orthorexia memang belum diakui dalam DSM-5, tetapi para profesional menganggapnya kondisi serius (Eating Disorders Victoria).
Pada akhirnya, kesehatan sejati bukan soal sempurna. Bukan sekadar label "organik" atau "bebas gula". Kesehatan itu tentang keseimbangan: nutrisi untuk tubuh, juga ketenangan untuk pikiran.
Makanlah dengan rasa damai, nikmati tanpa rasa bersalah, dan jangan lupa berbagi momen di meja makan. Itu semua bagian dari kesehatan yang utuh.
Kalau pola makan sehatmu justru bikin tertekan, mungkin ini saatnya bertanya pelan-pelan: apakah jalan yang ditempuh benar-benar menyehatkan?