Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mitos Meritokrasi dan Realitas Ketidakadilan dalam Meraih Sukses

9 September 2025   21:00 Diperbarui: 29 Agustus 2025   19:48 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja, bekerja di kantor. (FREEPIK via Kompas.com)

Kita sering mendengar sebuah pepatah lama. Hasil katanya tidak akan mengkhianati usaha.

Kalimat ini menjadi mantra banyak orang. Ia membakar semangat untuk terus bekerja.

Ia juga memberi harapan di kesulitan. Tapi, apakah pepatah itu masih berlaku? Dunia ini sekarang semakin kompleks.

Zaman sekarang ini terasa sangat berbeda. Banyak orang merasa sudah berusaha keras. Namun, hasil didapat jauh dari harapan.

Seorang pelajar belajar siang dan malam. Namun nilainya tetap biasa saja.

Seorang karyawan bekerja lembur setiap hari. Tapi pangkatnya tidak kunjung naik.

Lalu muncul pertanyaan getir benak mereka. Apa gunanya semua usaha keras ini?

Sebagian orang lantas menyalahkan kondisi zaman. Mereka bilang, dulu semuanya lebih mudah. Dulu juga terasa jauh lebih adil. Dulu, kerja keras pasti dibayar lunas.

Anggapan ini terdengar cukup masuk akal. Tetapi itu tidak sepenuhnya benar.

Ideologi meritokrasi kini banyak sekali dikritik. Ideologi ini punya sebuah asumsi. Sukses hanya bergantung pada usaha individu. Menurut analisis dari Kumparan (2025).

Mimpi meritokrasi seringkali terbentur realitas. Latar belakang keluarga sangatlah menentukan. Akses sumber daya juga menjadi penentu.

Jadi, keyakinan itu adalah sebuah mitos.

Lalu, bagaimana kita memandang kegagalan kini? Mungkin masalahnya bukan hanya pada zaman. Bisa jadi ada pada jenis usahanya.

Konsep kerja keras saja tidak cukup. Kini, muncul gagasan tandingan lebih relevan. Gagasan itu adalah konsep 'kerja cerdas'.

Dealls (2024) menjelaskan konsep penting ini. Kerja cerdas bukan bekerja lebih sedikit. Kerja cerdas adalah bekerja lebih strategis. Juga lebih efektif dan lebih efisien.

Pelajar gagal mungkin salah strategi belajar. Karyawan stagnan mungkin kurang pandai komunikasi.

Usaha mereka tidak serta-merta dikhianati. Mungkin usahanya hanya salah arah saja.

Kita juga perlu meninjau arti 'hasil'. Kita sering mengukur hasil dengan materi.

Contohnya seperti gaji dan jabatan tinggi. Atau nilai sempurna di atas kertas. Banyak pemikir modern sepakat soal ini. Seperti ulasan dalam IDN Times (2022).

Kesuksesan tidak melulu hanya soal materi. Hasil bisa datang dalam banyak bentuk. Bentuk itu seringkali tak ternilai harganya.

Usaha belajar tidak hanya memberi nilai. Ia memberi pemahaman yang lebih dalam. Juga memberi kita sebuah pola pikir kritis.

Usaha bekerja tidak hanya memberi promosi. Ia menempa kita dengan banyak pengalaman. Juga menempa ketahanan dan keahlian baru. Ini adalah 'hasil' yang sering terlupakan.

Maka, pepatah itu jangan ditelan mentah-mentah. Anggaplah itu sebuah prinsip penyemangat.

Prinsip untuk melakukan bagian kita terbaik. Setelah kita berusaha secara maksimal.

Kita harus sadar ada faktor lain. Faktor lain itu ikut bermain juga.

Ada sistem yang sangat rumit. Ada kondisi ekonomi yang tak terduga. Menggantungkan harapan pada satu pepatah saja. Tentu itu bukan tindakan yang bijaksana.

Pada akhirnya, kerja keras tetap berharga. Nilai itu tidak boleh kita tinggalkan.

Namun, ia harus diimbangi kerja cerdas. Juga harus disertai dengan pikiran realistis.

Dunia ini memang sangatlah kompleks. Dan dunia seringkali terasa tidak adil.

Mungkin kini saatnya kita berhenti bertanya. Jangan tanya apakah hasil khianati usaha.

Sebaliknya, kita bisa mulai fokus sekarang. Bagaimana cara berusaha yang paling efektif. Juga cara paling cerdas dan bermakna. Demi pertumbuhan diri kita seutuhnya.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun