Jantung Jawa kembali berdetak. Setelah sekian lama pusat kekuasaan berada di pesisir utara, arah sejarah kembali ke pedalaman.
Perpindahan ini bukan sekadar perubahan geografis. Ini cermin persaingan maritim dan agraria.
Dulu, kekuatan laut sangat penting. Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, menjadi kuat karena menguasai pelabuhan. Mereka mengatur jalur perdagangan. Jalur ini menghubungkan Jawa dengan dunia luar (Slamet Muljana, 2005).
Pelabuhan seperti Banten, Cirebon, dan Surabaya menjadi pusat ekonomi. Tetapi, kekuasaan ini punya kelemahan. Para penguasa pesisir sangat bergantung pada hasil pedalaman.
Barang dagangan seperti rempah dan hasil bumi berasal dari daerah pertanian. Jika produksi ini terhenti, ekonomi pesisir bisa lumpuh. Hal ini juga didukung historiografi tradisional.
Karena itu, para penguasa pesisir memperluas pengaruh mereka. Mereka menyebarkan Islam ke pedalaman. Upaya ini bukan hanya dakwah. Ini juga ekspansi politik.
Tujuannya mengamankan sumber daya. Mereka ingin menguasai lumbung pangan di pedalaman Jawa (H.J. de Graaf, 1974).
Namun, di pedalaman, kekuatan lama masih bertahan. Contohnya adalah Kerajaan Pengging. Pengging kental dengan budaya Hindu-Buddha.
Mereka punya basis intelektual dan spiritual sendiri. Bagi Demak, Pengging adalah ancaman. Maka, Demak melancarkan serangan militer.
Demak memang berhasil menaklukkan Pengging. Tetapi, serangan ini menciptakan masalah baru. Penaklukan ini menimbulkan dendam. Dendam ini kemudian menjadi kekuatan penantang.
Dari dendam itu, Mataram muncul. Mataram adalah tanah yang diberikan sekutu Pajang. Pajang adalah penerus Demak. Tetapi, pemimpin Mataram jauh lebih cerdas. Mereka tidak cuma mengandalkan militer. Mereka juga melihat peluang politik.