Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik Kilau Mispa, Ada Gengsi dan Pengorbanan Haji Bugis

25 Agustus 2025   01:00 Diperbarui: 24 Agustus 2025   21:37 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap musim haji telah berakhir. Selalu ada pemandangan sangat khas. Pemandangan itu selalu menarik perhatian. Terutama di Debarkasi Kota Makassar.

Para haji perempuan Bugis pulang. Mereka kembali ke tanah air.

Penampilan mereka sangatlah gemerlap. Penampilan itu juga sangat mencolok.

Mereka memakai busana adat Mispa. Ini budaya tampil sangat glamor. Budaya ini khas tanah Bugis (CNN Indonesia, 2025).

Busana ini punya warna-warna cerah. Bahannya juga tampak sangat berkilauan.

Beragam perhiasan emas mereka pakai. Perhiasan itu menghiasi seluruh tubuh.

Tampilan mewah ini adalah tradisi. Tradisi ini sudah berjalan lama.

Bagi mereka, ini cara bersyukur. Cara syukur setelah menyelesaikan ibadah.

Penampilan ini juga penanda status. Sebuah status sosial baru terhormat. Gelar haji memang sangat dihargai.

Namun, ada pertanyaan di baliknya. Pertanyaan itu sangatlah mendasar. Pertanyaan itu juga sering muncul.

Ibadah haji adalah puncak spiritual. Perjalanan ini mengajarkan nilai kesederhanaan.

Perjalanan itu juga mengajarkan ketabahan. Serta nilai kesetaraan antar manusia.

Di Tanah Suci semua orang sama. Semua memakai pakaian ihram putih.

Tanpa memandang status atau kekayaan. Mengapa kepulangan dirayakan dengan mewah?

Perayaan itu bisa dianggap berlebihan. Beberapa kalangan melihat pertentangan nilai.

Ada benturan antara ajaran spiritual. Dengan ekspresi budaya yang material.

Dalam ajaran Islam, sikap pamer dilarang. Kekhawatiran ini kemudian muncul.

Bahkan dari Majelis Ulama Indonesia. MUI menyoroti jemaah pamer emas.

Hal itu simbol keduniaan (Detik Sulsel). Hal itu sebaiknya harus dihindari.

Ada yang berpendapat busana itu simbol. Simbol dari sebuah pengorbanan besar.

Namun argumen ini perlu diuji. Pengorbanan sesungguhnya terjadi sebelumnya.

Saat menabung uang puluhan tahun. Juga saat berjuang menahan lelah. Berjuang selama di Tanah Suci.

Pakaian glamor terasa seperti hadiah. Bukan lagi cerminan pengorbanan itu.

Ini adalah perayaan pencapaian besar. Mungkin juga perayaan kesuksesan finansial.

Kesuksesan yang memungkinkan perjalanan haji. Maknanya bisa jadi sudah bergeser.

Tradisi ini tidak berdiri sendiri. Ia bagian dari ritual besar.

Ritual itu bernama mappatoppo. Ritual ini disebut "wisuda haji".

Sebuah prosesi penyempurnaan ibadah haji (Detikcom, 2025). Dalam prosesi itu haji dilantik.

Pelantikan dilakukan secara adat. Pro dan kontra tentangnya sering dibahas.

Hal ini menegaskan statusnya tradisi. Bukan bagian dari rukun haji (Tribun Timur, 2025).

Kini, tradisi Mispa hadapi tantangan. Tantangan baru di era modern. Zaman telah berubah sangat cepat. Banyak hajjah muda meninggalkannya.

Mereka memilih busana muslim modern. Misalnya seperti gamis model syar'i. Pakaian ini dianggap lebih praktis. Juga dinilai lebih sederhana.

Sesuai tren busana Islami global. Ini bukan sekadar perubahan mode. Ini cerminan pergeseran identitas budaya.

Identitas lokal Bugis yang unik. Kini berhadapan dengan identitas Islam. Identitas Islam yang lebih mendunia.

Fenomena ini dikaji secara sosial (Repository IAIN Parepare).

Media sosial mempercepat proses ini. Akibatnya penanda visual hajjah Bugis. Penanda itu perlahan-lahan memudar.

Pada akhirnya, tradisi Ma'mispa kompleks. Ia bukanlah sekadar sebuah pakaian.

Ia adalah arena pertemuan nilai. Tempat nilai-nilai itu berbenturan.

Ada nilai adat dan kebanggaan. Juga ada nilai status sosial.

Tapi di sisi lain ada agama. Ada nilai kesederhanaan dan ekonomi.

Pudarnya tradisi ini sebuah gambaran. Gambaran budaya lokal sedang beradaptasi. Beradaptasi dengan arus zaman modern. Juga pemahaman agama yang berkembang.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun