Kebijakan pangan Indonesia selalu tentang nasi. Nasi selalu jadi yang utama. Seperti anak emas dalam keluarga. Banyak yang menyebut ini sebuah obsesi pemerintah. Tapi, apakah ceritanya sesederhana itu? Mungkin ada alasan yang lebih rumit di baliknya.
Pemerintah sering dianggap bebal oleh publik. Mereka selalu mendorong kebijakan berbasis beras. Pola ini konsisten sejak zaman dulu (E-Journal UNDIP, 2023).Â
Padahal Indonesia punya banyak pangan lain. Ada sagu di wilayah timur. Ada juga sorgum di banyak tempat. Singkong pun tumbuh dengan sangat melimpah. Namun semua itu seolah dikesampingkan. Nasi tetap jadi bintang utamanya.
Mari kita coba berpikir dari sisi lain. Mungkin ini bukan sekadar soal obsesi. Mungkin ini soal pilihan paling praktis.Â
Pemerintah memang punya tugas yang besar. Tugasnya adalah menjaga stabilitas nasional. Perut rakyat adalah kunci dari stabilitas. Nasi menjadi jawaban termudah untuk itu.
Mengapa harus selalu nasi? Pertama, karena kalorinya padat. Kedua, nasi sangat mudah disimpan. Gudang logistik sudah dirancang untuk nasi. Ketiga, distribusinya juga paling mudah. Sistemnya sudah terbentuk puluhan tahun.Â
Harga beras bisa memicu gejolak sosial. Makanya operasi pasar sering dilakukan (Repository UGM, 2013).Â
Menjaga pasokan beras adalah cara cepat. Cara itu menjaga negara tetap aman. Ini bukan lagi soal selera makan. Ini sudah masuk ranah politik keamanan.
Lalu mengapa tidak beralih ke pangan lokal? Ide ini memang terdengar sangat bagus. Tapi pelaksanaannya di lapangan sangat sulit.Â
Mengganti nasi dengan sagu adalah proyek raksasa. Sistem pertanian harus diubah total (Penerbit BRIN, 2022). Rantai pasoknya juga harus ikut diubah. Infrastruktur irigasi sawah tak cocok. Pabrik penggilingan padi tak bisa mengolahnya.
Ini bukan soal mengubah menu makan. Ini soal membongkar sistem ekonomi mapan. Proses ini butuh biaya sangat besar. Proses ini juga butuh waktu panjang. Risikonya pun tidak bisa dianggap remeh.