Banyak pekerja merasa lebih fokus di sana. Mereka merasa lebih produktif di lingkungan ini.
Namun, asumsi produktivitas ini perlu diuji. Apakah semua orang produktif di kafe?Â
Kenyataannya, hal itu belum tentu benar.Â
Bagi sebagian orang, keramaian itu mengganggu. Fokus mereka bisa buyar dengan mudah. Efektivitas bekerja di kafe sangat personal.Â
Ini bergantung pada sifat individu masing-masing. Ide kafe sebagai ruang ketiga juga diperdebatkan.Â
Oldenburg menyebut ruang ketiga tidak mengenal status. Kenyataannya, harga di kafe tidaklah murah.Â
Ini membuat kafe menjadi ruang eksklusif. Fenomena ini bisa menjadi penanda status sosial.
Di sisi lain, ada konflik kepentingan. Ada benturan antara pengunjung dan pemilik. Pengunjung ingin nyaman dengan biaya minimal.Â
Pemilik kafe harus memastikan bisnisnya untung. Muncullah fenomena "rojali" atau rombongan jarang beli. Istilah ini ramai dibahas media massa (Detik Food, 2024).Â
Praktik ini tentu saja sangat merugikan bisnis. Sebagai respons, banyak kafe membuat kebijakan. Misalnya ada pembatasan durasi pemakaian WiFi. Ini bukan aturan kaku semata. Ini adalah strategi untuk bertahan hidup.
Pada akhirnya, bekerja di kafe fenomena sosial kompleks. Ini bukan sekadar kelanjutan tradisi intelektual.Â