Ada satu fakta penting sekali. Fakta ini sering kali terlewatkan. Terlewat dalam narasi heroik pasca-peristiwa. Fakta itu adalah kondisi administrasi.Â
Kondisi administrasi pondok saat itu. Berbagai sumber menceritakan peristiwa ini. Mereka mengakui adanya sebuah kelemahan. Kelemahan fundamental dalam sistem manajemen (E-Journal Unesa, 2020).Â
Pengarsipan tagihan SPP tidak berjalan. Tidak berjalan baik dan komprehensif. Akibatnya banyak santri menunggak iuran. Mereka menunggak tanpa penagihan jelas. Hal ini membuat keuangan pondok goyah.Â
Kondisi keuangan menjadi sangat sulit. Ketika kas pondok mulai terganggu. Maka pos pengeluaran akan terdampak. Pos seperti dapur pasti terkena imbas. Ini sejatinya bukan salah santri. Ini adalah cermin kelemahan sistemik.
Lalu muncul pula tuduhan korupsi. Tuduhan itu diarahkan ke dapur. Isu ini sangat sensitif sekali.Â
Isu ini jadi bahan bakar amarah. Sayangnya penanganan isu ini lemah. Tampak kurang meyakinkan bagi mereka.Â
Investigasi hanya dilakukan secara internal. Dilakukan oleh seorang santri senior. Namanya adalah Akrim Mariyat. Hal ini tercatat di situs Gontor (Situs Resmi Gontor, 2017).Â
Bagi kelompok yang sudah curiga. Hasil internal ini tidak kredibel. Mereka butuh transparansi lebih nyata.Â
Misalnya lewat audit pihak ketiga. Pihak ketiga yang lebih netral. Tanpa itu api kecurigaan membesar. Desas-desus akan terus tak terkendali.
Menggambarkan penggerak Persemar itu sesat. Hal itu sebuah penyederhanaan narasi. Tindakan mereka jelas sangat salah. Mereka telah melanggar semua aturan. Perusakan fasilitas tidak bisa dibenarkan. Pembakaran aset juga tindakan anarkis.Â
Namun tindakan ekstrem lahir dari frustrasi. Rasa frustrasi yang sudah memuncak. Mungkin aspirasi mereka tidak didengar. Mungkin jalan dialog sudah tertutup. Hal ini menurut beberapa kesaksian (Kompasiana, 2015).Â