Kisah perlawanan di Sumatra sering digambarkan heroik. Kisah itu terjadi pada abad delapan belas. Narasinya tentang pangeran-pangeran Minangkabau gagah berani. Mereka disebut menggempur VOC tanpa kenal lelah.Â
Namun cerita aslinya ternyata lebih kompleks. Cerita itu tidak sesederhana narasi umumnya. Ini mungkin bukan satu gerakan perlawanan besar.Â
Gerakan itu tidak dikoordinasikan dengan sangat baik. Ini terlihat seperti serangkaian konflik terpisah. Konflik dipicu oleh berbagai kepentingan faksi rumit. Perebutan pengaruh juga menjadi pemicu utamanya.
Pemicu utamanya adalah kondisi internal Kerajaan Pagaruyung. Sultan Alif wafat pada tahun 1680.Â
Setelah itu kerajaan mengalami ketidakstabilan politik parah. Terjadi perebutan kekuasaan internal secara sengit.Â
Ada tiga pangeran yang saling bersaing. Setiap pangeran merasa paling berhak atas takhta. Kondisi internal ini menjadi panggung utama peristiwa. Kerapuhan ini menjadi faktor krusial kemunduran (Minangsatu.com).Â
VOC sudah bercokol kuat sekali di Padang. Mereka melihat celah strategis dari perpecahan itu. Mereka bukan hanya pihak yang pasif saja. Mereka adalah pemain politik sangat cerdik. Mereka juga pemain politik yang oportunistis.
Konflik yang meletus didorong oleh motif ekonomi. Motifnya bukan semangat anti-kolonial yang murni.Â
Para pangeran turun ke wilayah pesisir. Mereka datang bukan hanya karena idealisme. Mereka datang untuk menuntut upeti atau emas.Â
Mereka berambisi menguasai kembali jalur perdagangan. Jalur itu untuk komoditas sangat berharga. Komoditas itu seperti lada dan juga emas (ResearchGate, 2023).Â
Sebelum VOC dominan, pesisir menyetor upeti rutin. Upeti itu disetor ke kerajaan di pedalaman. VOC lalu mengambil alih kontrol ekonomi ini.Â