Para pangeran pun kehilangan sumber pendapatan penting. Upaya mereka menyerang pos-pos VOC adalah perebutan. Perebutan kembali aset ekonomi yang telah hilang.Â
Ini adalah perang menguasai sumber daya. Perang ini dibalut dengan retorika kebangsawanan.
Strategi VOC dalam menghadapi ini sangat canggih. Strategi mereka juga dibuat sangat berlapis. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan militer.Â
Taktik adu domba menjadi andalan utamanya. Mereka mengumpulkan informasi intelijen dari sekutu. Sekutu itu adalah para elite lokal (Repositori Kemendikbud).Â
Mereka tahu persis Kerajaan Minangkabau terpecah. Informasi ini mereka gunakan secara sangat efektif. Mereka memakainya untuk menolak klaim para pangeran.Â
Mereka juga menerapkan politik hadiah berukuran kecil. Hadiah ini bukan sekadar sogokan untuk mereka. Hadiah ini adalah alat politik yang halus.Â
Tujuannya melemahkan wibawa pangeran di mata rakyat. Para pangeran memang berhasil ditenangkan. Namun otoritas mereka perlahan-lahan terus digerogoti.
Masyarakat di wilayah pesisir berada di posisi sulit. Masyarakat seperti di Pauh atau Koto Tangah. Mereka sering terseret ke dalam pusaran konflik.Â
Mereka mungkin tidak punya banyak pilihan lain. Mereka harus mendukung pangeran dari pedalaman. Pangeran itu datang dengan membawa pasukan besar. Atau sebaliknya, mereka memilih berpihak kepada VOC.Â
VOC menawarkan stabilitas dan juga keamanan dagang. Rakyat pesisir adalah korban yang sesungguhnya. Mereka terjebak di antara banyak kepentingan. Ada kepentingan elite kerajaan yang saling bersaing. Ada juga kekuatan dagang asing yang pragmatis.
Narasi sejarah sering bergantung pada sumber tertulis. Sumber yang tersedia menjadi acuan utama cerita. Dalam kasus ini, banyak detail cerita didapat.Â