Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Filosofi Ogoh-ogoh, Simbol Penetralisir Kekuatan Alam Negatif

9 Agustus 2025   01:00 Diperbarui: 7 Agustus 2025   17:52 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ogoh-ogoh adalah tradisi identik Nyepi di Bali. Ia bukan sekadar sebuah boneka raksasa. Ia wujud sarat makna dan filosofi. 

Nama "ogoh-ogoh" dari kata "ogah-ogah". Kata itu berasal dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan (Wikipedia, 2024). 

Makna ini merujuk pada bentuknya besar. Juga pada gerakannya yang selalu diayunkan. Terutama saat sedang diarak keliling desa. 

Tradisi ini telah menjadi bagian penting. Bagian tak terpisahkan dari perayaan Nyepi. Khususnya dalam ritual sakral Pengerupukan.

Secara historis, tradisi ini tidak selalu ada. Eksistensinya mulai populer sekitar tahun 1983. Itu setelah Nyepi jadi hari libur. Hari libur nasional lewat Keputusan Presiden. Keputusan Nomor 3 Tahun 1983 (Antara News, 2025). 

Gubernur Bali saat itu adalah Mantra. Ida Bagus Mantra berperan sangat besar. Beliau mendukung penuh pengembangan ogoh-ogoh. Kemudian ogoh-ogoh mulai sering dilombakan. Lalu terus berkembang hingga sekarang (detik.com, 2024). 

Tradisi ini menjadi semakin populer.

Proses pembuatannya adalah sebuah ritual sosial. Ritual sosial ini dianggap sangat penting. Sekaa Teruna menjadi pelaku utamanya (Wikipedia, 2024). 

Itu adalah organisasi pemuda setiap banjar. Mereka bekerja sama dan bahu membahu. Prosesnya memakan waktu selama berbulan-bulan. Dimulai jauh hari sebelum Nyepi (Antara News, 2025). 

Kerangkanya dibuat dari bahan bambu. Juga dari bahan kayu yang kuat. Badannya bisa dilapisi dengan bubur kertas. Atau juga dilapisi dengan bahan styrofoam. Bisa juga menggunakan bahan kreatif lainnya. 

Contohnya seperti pemakaian limbah organik. Proses ini tunjukkan semangat gotong royong. Serta kreativitas tak terbatas anak muda (Desa Sangeh Badung).

Di balik kemeriahan itu ada filosofi. Filosofi itu sangatlah dalam maknanya. Ogoh-ogoh melambangkan wujud Bhuta Kala. Bhuta Kala kekuatan alam negatif (Wikipedia, 2024). 

Kekuatan itu juga sangatlah merusak. Bhuta Kala diyakini berasal Panca Bhuta. Panca Maha Bhuta lima elemen alam. Terdiri dari Pertiwi atau unsur tanah. Lalu Apah atau unsur air (Wikipedia, 2024). 

Kemudian Teja yaitu merupakan unsur api. Serta Bayu yang berarti unsur angin. Terakhir Akasa yaitu merupakan unsur ruang. Kelima elemen bisa jadi sumber hidup. 

Namun bisa menjelma menjadi kekuatan buruk. Kekuatan yang marah dan sangat menghancurkan. Ogoh-ogoh dibuat untuk menetralisir kekuatan. Kekuatan negatif ini harus dinetralkan. Agar alam semesta kembali seimbang (Radar Nganjuk, 2024).

Pawai ogoh-ogoh bagian ritual Pengerupukan (CNBC Indonesia, 2023). 

Ritual ini diawali upacara Tawur Kesanga. Ini sebuah upacara suci yang penting. Untuk memberi sesajen pada Bhuta Kala. Harapannya kekuatan negatif dapat ternetralisir (detik.com, 2023). 

Setelah upacara, pawai ogoh-ogoh dimulai. Ia diarak keliling pelosok desa. Dengan iringan gamelan baleganjur meriah. Serta teriakan semangat dari para pengarak. 

Mereka seolah merasa sudah menang. Telah menang atas segala hawa nafsu. Juga atas segala macam sifat buruk (Kumparan, 2021).

Puncak pawai adalah pembakaran ogoh-ogoh. Itu menjadi simbol pemusnahan Bhuta Kala. Juga pemusnahan segala macam sifat buruk. Sifat buruk dalam diri manusia (Wikipedia, 2024). 

Pembakaran ini menutup ritual Pengerupukan. Setelahnya umat Hindu memasuki hari Nyepi. Nyepi adalah hari yang sangat hening. Berlangsung selama dua puluh empat jam. 

Ini waktu tepat untuk introspeksi diri. Juga waktu untuk bisa menenangkan diri. Demi mencari kedamaian batin yang sejati. Diibaratkan seperti seekor kepompong yang indah. Yang akan jadi kupu-kupu cantik (INSTIKI, 2024).

Namun evolusi ogoh-ogoh membawa tantangan (Tatkala.co, 2025). 

Tradisi ini kini menjadi sangat kompetitif. Dengan adanya berbagai macam jenis perlombaan. Contohnya seperti Kasanga Fest di Denpasar (Radar Bali, 2025). 

Lomba memang mendorong tumbuhnya kreativitas. Serta meningkatkan kualitas hasil dari ogoh-ogoh. Tetapi lomba juga memicu "adu gengsi". 

Lalu muncul kekhawatiran makna spiritual tergerus. Para seniman ogoh-ogoh pun sangat mengingatkan. Bahwa esensinya adalah pesan yang disampaikan. Bukan sekadar bentuk indah saja (Prokomsetda Buleleng).

Pada akhirnya, ogoh-ogoh cerminkan dinamika. Dinamika budaya Bali yang sangat khas (Tatkala.co, 2025). 

Sebagai perpaduan antara tradisi modernitas. Anak muda Bali lestarikan tradisi leluhur. Namun mereka juga mengekspresikannya secara kontemporer (Repository UNAIR, 2017). 

Ogoh-ogoh bukan lagi ritual pengusir roh. Ia cerminan semangat hidup dari masyarakat. Masyarakat yang terus hidup dan beradaptasi. 

Tradisi ini adalah sebuah dialog abadi. Dialog antara yang kuno dan baru. Antara spiritualitas dan realitas kehidupan modern.

***

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun