Jejak digital tidak bisa dihindari. Interaksi daring selalu menciptakan jejak digital. Mengunggah foto atau mencari informasi, misalnya.Â
Jejak digital membentuk identitas seseorang. Pandangan dominan sering terlalu fokus. Mereka melihat jejak digital sebagai ancaman.
Pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Jejak digital adalah pedang bermata dua. Risikonya nyata dan juga serius. Data pribadi dapat dicuri. Identitas seseorang dapat dipalsukan. Masa lalu digital dapat menghantui.
Kasus kejahatan siber menunjukkan ancaman nyata. Lebih dari 29% penduduk di Amerika Serikat. Mereka pernah menjadi korban pencurian identitas. Ini menurut data dari iProov tahun 2024.Â
Kerugian kejahatan siber diperkirakan mencapai $8 triliun. Angka itu adalah setiap tahun secara global. Ini menurut Infobanknews pada 2024.Â
Masalah di Indonesia juga sangat serius. Kerugian ekonomi akibat kejahatan siber berpotensi $34,2 miliar. Ini menurut sebuah studi Kepolisian Republik Indonesia. Studi itu tercatat di Jurnal Legislasi dan Kebijakan Publik, 2020. Data ini tidak bisa diabaikan.
Jejak digital juga bisa merusak reputasi. Unggahan atau komentar lama kontroversial bisa muncul. Hal ini dapat menghambat karier. Atau juga menghambat hubungan pribadi.Â
Contohnya kasus Karla Sofia Gascn. Dia adalah bintang film Emilia Perez, 2024. Cuitan lama Gascn terungkap. Isinya pandangan rasis dan Islamofobia. Kontroversi ini dapat mengancam kariernya. Ini menurut Ameera Republika, 2024. Serta Tempo, 2025.
Selain itu, jejak digital adalah alat manipulasi. Skandal Cambridge Analytica menjadi bukti. Firma ini menggunakan data ilegal. Data itu berasal dari 87 juta pengguna Facebook.Â
Data tersebut dipakai untuk propaganda politik. Yaitu saat kampanye Donald Trump tahun 2016. Ini menurut Wikipedia dan CNBC Indonesia, 2022. Kasus ini membuktikan data pribadi disalahgunakan. Mereka memengaruhi opini publik.
Menganggap jejak digital sebagai momok itu keliru. Sisi positifnya sama kuatnya. Jejak digital adalah aset berharga.Â