Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Waktu Berjalan Berbeda Tiap Usia?

5 Agustus 2025   05:00 Diperbarui: 1 Agustus 2025   12:20 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jam dinding. (FREEPIK.COM/STOCKKING via Kompas.com)

Perasaan waktu berlalu cepat adalah umum. Banyak merasa remaja tak berujung. Liburan dahulu terasa sangat panjang. Namun, usia bertambah membuat akhir pekan sekejap. Tahun berganti begitu saja. Fenomena ini memicu pertanyaan, "Ke mana perginya waktu?"

Sejatinya, waktu tidak pergi ke mana-mana. Ia juga tidak berlalu lebih cepat. Perasaan itu hanyalah persepsi. HelloSehat menyatakan demikian. 

Pengalaman subjektif itu telah didiskusikan lama. Para filsuf dan psikolog membahasnya. Chennairivers.gov.in juga mencatat hal ini. 

Peneliti pada 1990-an mencoba mencari hubungan. Mereka mencari usia dan percepatan waktu. Hasilnya belum jelas. Mereka juga belum menyeluruh. Ini menunjukkan persepsi waktu kompleks. Research.manchester.ac.uk menjelaskan.

Pada 2010-an, sebuah studi dilakukan. Studi itu penting untuk dipahami. Tujuannya seberapa umum efek ini. Penelitian dipimpin Sylvie Droit-Volet. John H. Wearden juga memimpinnya. Ini berdasarkan PubMed, 2015. 

Mereka justru tidak menemukan perbedaan. Ini tentang persepsi kecepatan waktu. Antara orang muda dan lansia. Dalam kehidupan sehari-hari mereka. Frontiers in Psychology, 2016 melaporkan. 

Temuan ini menunjukkan perbedaan perasaan. Ini tentang kecepatan waktu. Bisa jadi bukan karena usia semata.

Pergeseran Persepsi dan Otak

Seorang lansia mungkin merasa lambat. Waktu berjalan lambat saat menjalani hari. Namun, merenungkan setahun terakhir terasa cepat. 

Hal ini sering dikaitkan. Terkait sedikitnya peristiwa baru. Ini terutama jika ada ketidakpuasan. Ketidakpuasan dalam hidup mereka. Matabanua.co.id menyebutkan. 

Rutinitas monoton juga berperan. Rutinitas minim perhatian baru. Ini membuat waktu terasa cepat. Tribunnews Parapuan, 2021 menjelaskan. Di sini ada perbedaan fokus. Antara satu hal dengan kehidupan berulang.

Faktor usia juga berperan besar. Ini terutama pada lansia di atas 75 tahun. Melambatnya jam internal berkaitan. Terkait perubahan neurokognitif mereka. PMC NCBI, 2016 melaporkan ini. 

Seiring usia bertambah, persepsi waktu melambat. Persepsi di kepala menjadi kurang akurat. 

Hal ini terkait degenerasi struktur otak. Misalnya, ganglia basal mengalami degenerasi. Lobus frontal juga demikian. Cerebellum pun terpengaruh. PMC NCBI dan Herald Open Access menyebutkan. 

Penurunan kapasitas memori kerja. Ini juga mempengaruhi kemampuan seseorang. Untuk menjaga konsistensi interval waktu. PubMed, 2023 melaporkan.

Penelitian lain mengkaji fenomena ini. Mereka menggunakan metode ketukan konsisten. Peserta dari berbagai usia terlibat. Hasil menunjukkan peserta lebih tua. 

Mereka cenderung merespons lebih lambat. Respon mereka juga tidak konsisten. Ini menandakan jam internal mereka lambat. Jam mereka juga lebih bervariasi. PubMed, 2016 menjelaskan. 

Martine Turgeon adalah peneliti. Ia meneliti penuaan kognitif. Bidang ini terus berkembang pesat. PubMed, 2016 juga menyebutkannya.

Bisakah Kita Mengubahnya?

Waktu tidak bisa diperlambat. Waktu juga tidak bisa dihentikan. Mubadalah.id menyatakan hal ini. 

Namun, kita dapat memanipulasi persepsi. Persepsi kita terhadap waktu. Caranya melakukan hal bermakna. Atau mencoba pengalaman baru. Lakukan di luar rutinitas harian. Joseph Group menyarankan ini. 

Kehidupan monoton misalnya. Rutinitas kerja dari pagi. Lalu hingga sore hari. Ini membuat waktu terasa hilang. IDN Times menjelaskan.

Cindy Lustig adalah profesor psikologi. Ia dari University of Michigan. Ia berpendapat terlibat penuh. Terlibat di masa sekarang penting. Ini membuat momen terasa lebih lama. The Brighter Side dan lsa.umich.edu menyebutnya. 

Penelitian menunjukkan latihan kesadaran. Mindfulness dapat memperluas persepsi waktu. Artinya, kita lebih hadir. Kita hadir dalam setiap momen. PMB UNJANI dan Liternote melaporkan. 

Saat fokus pengalaman baru, otak memproses. Otak memproses lebih banyak informasi. Ini membuat waktu terasa lebih 'penuh'. Juga membuatnya terasa lebih lama.

Pada akhirnya, kita memiliki kendali. Kendali penuh atas apa yang dilakukan. Dilakukan di masa sekarang ini. Di detik ini. E-Jurnal Mercu Buana Yogyakarta. 

Mungkin kuncinya terletak. Terletak pada cara kita mengisi waktu. Bukan pada seberapa cepat. Seberapa cepat waktu itu bergerak. Suara.com dan Academic Journal YARSI mengatakan. 

Dengan memilih menjalani hidup. Hidup secara lebih penuh. Setiap momen menjadi lebih berarti. Ini mengubah cara merasakan waktu.

***

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun