Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Diskriminasi Usia Mengakar dari Bias Manusia Hingga Algoritma AI

5 Agustus 2025   19:00 Diperbarui: 30 Juli 2025   14:23 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskriminasi usia adalah masalah yang besar. Masalah ini terjadi dalam rekrutmen kerja. Fenomena ini terjadi di mana-mana. 

Ironisnya, ageisme justru terasa semakin kuat. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi. Seolah setiap inovasi menciptakan tantangan baru. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan serius.

Banyak orang berharap suatu hal. Teknologi diharapkan dapat hilangkan bias. Terutama bias dalam proses rekrutmen. 

Namun kenyataannya seringkali sangat berbeda. Teknologi belajar dari data historis. Terutama teknologi kecerdasan buatan (AI). 

Data historis tersebut memang sudah ada. Jika perusahaan dulu rekrut pekerja muda. Maka AI bisa meniru pola tersebut. Bahkan AI mampu memperkuat pola itu. 

Contoh nyata terjadi pada perusahaan Amazon. Mereka terpaksa hentikan sistem rekrutmennya. Sistem itu berbasis AI pada 2018. Sistem tersebut terbukti mendiskriminasi pelamar perempuan (BBC, 2018). 

Sistem itu belajar dari data historis. Data itu didominasi oleh pelamar laki-laki. Oleh karena itu AI membuat kesimpulan. AI menyimpulkan kandidat pria lebih unggul (Reuters, 2018). 

Ini menunjukkan fakta yang penting. Bahwa AI bukanlah solusi yang ajaib. AI hanyalah cerminan dari bias manusia. Bias manusia yang sudah ada sebelumnya.

Sebuah gagasan perlu untuk dipertanyakan. Gagasan itu tentang "puncak kesuksesan". Yaitu pada rentang usia 25 atau 29. Hal ini karena kesuksesan itu sendiri. Kesuksesan tidak memiliki batas waktu tertentu. 

Banyak individu hebat mencapai puncak karirnya. Mereka justru capai itu di usia matang. Kisah orang yang merasa "terlalu tua". Perasaan itu muncul di usia muda. 

Hal ini menunjukkan adanya masalah mendasar. Terutama dalam cara kita menilai potensi. Pengalaman mereka seringkali diabaikan begitu saja. Keahlian mereka juga sering tidak dianggap. Semua ini hanya karena angka usia.

Sejarah rekrutmen memberikan konteks yang menarik. Kita bisa melihat konteksnya lebih dalam. 

Di peradaban Mesopotamia kuno, pekerjaan diperoleh. Pekerjaan itu didapat melalui suatu rekomendasi (ID Sejarah). Atau juga berdasarkan kesetiaan pada kerajaan (Media Indonesia, 2022). 

Kemudian Revolusi Industri memperkenalkan sebuah sistem. Sistem rekrutmennya menjadi jauh lebih terstruktur. Namun, sulit menarik garis lurus langsung. Garis lurus antara praktik kuno tersebut. Dengan fenomena ageisme di era modern.

Diskriminasi telah ada sejak zaman dulu (Tirto.id). Diskriminasi berdasarkan pada gender dan ras. Juga berdasarkan pada kelas sosial masyarakat. 

Ageisme adalah bentuk diskriminasi yang lain. Diskriminasi ini juga sudah sangat mengakar. 

Namun pertanyaannya adalah bagaimana praktik ini muncul? Lalu bagaimana praktik ini bisa berkembang? Perkembangannya terjadi secara sangat spesifik. Apakah ageisme sisa dari masa lalu? Ataukah fenomena baru yang dipicu sesuatu? 

Sesuatu itu adalah perubahan pasar kerja. Penjelasan mendalam tentang asal-usulnya diperlukan. Agar kita bisa memahami masalah ini. Masalah ini harus dipahami secara sepenuhnya.

Survei menunjukkan diskriminasi usia itu nyata. Kenyataan ini dirasakan oleh banyak pekerja. 

Sebuah survei dari MyPerfectResume melibatkan pekerja. Survei itu melibatkan sekitar 1.000 pekerja. Hasilnya mengungkap sembilan puluh sembilan persen. Mereka merasa ageisme ada di kerja (Tirto.id). 

Akibatnya banyak pekerja senior menjadi terpaksa. Mereka terpaksa menyembunyikan usia asli mereka. Karena mereka sangat takut kehilangan pekerjaan. 

Pekerja senior sering mendapat stereotip negatif. Mereka dianggap sulit beradaptasi dengan teknologi. Padahal banyak dari mereka terus belajar. Mereka juga terus mengembangkan keterampilan baru. 

Di sisi lain, generasi muda juga. Mereka tidak luput dari stereotip negatif. Mereka seringkali dianggap sebagai generasi malas. Atau bahkan dianggap memiliki sikap kurang sopan (Tirto.id). 

Di negara maju seperti Jepang. Juga negara maju seperti Korea Selatan. Masalah demografi justru memperburuk situasi. 

Di sana pekerja senior seringkali dipaksa. Mereka dipaksa untuk melakukan pensiun dini. Padahal mereka masih sangat produktif. Mereka juga masih ingin terus bekerja (Tempo.co; CNN Indonesia, 2024). 

Banyak negara punya undang-undang anti-diskriminasi. Termasuk negara Indonesia dan Amerika Serikat. 

Akan tetapi kasus diskriminasi terus terjadi. Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang besar. Kesenjangan antara peraturan dan juga implementasi. Implementasi aturan itu di lapangan (LinkedIn; Psychology BINUS).

Ageisme tidak hanya berakar bias moral. Namun juga didorong oleh faktor ekonomi. Perusahaan sering anggap pekerja senior "mahal". 

Mereka juga sering dianggap kurang adaptif. Sementara itu pekerja muda dianggap lebih murah. Pekerja muda juga dianggap lebih fleksibel. 

Selain itu, citra perusahaan juga berkontribusi. Perusahaan ingin tampil "muda dan dinamis". Ini ciptakan lingkungan kerja kurang inklusif. Kesenjangan keterampilan sering dijadikan sebuah alasan. 

Namun masalahnya ada pada ranah persepsi. Masalahnya bukanlah pada kemampuan riil mereka. 

Banyak pekerja senior punya kemauan kuat. Mereka juga punya kapasitas belajar teknologi. Mereka bisa mempelajari berbagai teknologi baru. 

Solusi atasi ageisme tidak bisa sepihak. Solusi tak bisa hanya andalkan teknologi. Hal ini membutuhkan perubahan pola pikir. Perubahan pola pikir yang sangat mendasar. 

Perusahaan harus mulai menilai setiap individu. Penilaian berdasarkan pada potensi dan keahlian. Bukan hanya berdasarkan pada angka usia. 

Program pelatihan ulang bisa jadi jembatan. Program mentorship juga bisa jadi jembatan. Jembatan yang sangat efektif mengatasi masalah. Karena pengalaman adalah sebuah aset berharga. 

Pengalaman bertahun-tahun bukanlah suatu beban. Pada akhirnya pasar kerja harus terbuka. Pasar kerja harus terbuka untuk semua. 

Pasar kerja harus untuk semua usia. Karena produktivitas tidak mengenal batas umur.

***

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun