Pajak selalu menjadi bagian hidup. Itu terjadi sejak masa lampau. Pungutan ini tidak pernah absen.Â
Mulai dari zaman kerajaan. Hingga saat ini juga begitu. Pajak sering dianggap beban berat. Kondisi ini dapat menyulut perlawanan. Sejarah Indonesia mencatat banyak contoh. (Tirto.id; Intisari Grid).
Kenaikan PPN dan Reaksi Masyarakat
Pemerintah kembali menaikkan tarif PPN. Tarifnya akan menjadi dua belas persen. Aturan ini berlaku mulai 1 Januari. Tepatnya pada tahun 2025. (Hukumonline, 2024).Â
Beberapa barang akan terkena imbas. Termasuk juga jasa-jasa premium. Contohnya adalah beras premium tertentu. Serta layanan pendidikan dan kesehatan. (Detik Food, 2024; CNA Indonesia).Â
Namun, beras premium dalam negeri. Pada dasarnya akan tetap bebas PPN. Hanya beras khusus dari impor. Yang berpotensi dikenai pajak. (CNBC Indonesia, 2024).Â
Sementara itu, kriteria pastinya. Untuk pendidikan dan kesehatan premium. Masih dalam proses perumusan. Proses itu dilakukan oleh pemerintah. (CNBC Indonesia, 2024).
Pemerintah menyatakan tujuan kenaikan ini. Tujuannya meningkatkan pendapatan negara. Serta mengurangi ketergantungan utang. Utang tersebut dari luar negeri. (Konsultan ISO; Gajigesa).Â
Namun, keputusan ini menuai reaksi. Reaksi datang dari masyarakat luas. Muncul sebuah petisi secara daring. Petisi menuntut pembatalan kenaikan PPN. (Kontan; Bisnis.com).Â
Pemerintah menyiapkan beberapa insentif. Ini sebagai bentuk kompensasi. Termasuk diskon pada tarif listrik. Untuk beberapa golongan masyarakat tertentu. (Tribunnews Jabar, 2024).
Jejak Pajak Sepanjang Sejarah
Pajak bukanlah hal yang baru. Terutama di negara Indonesia ini. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Berbagai pungutan sudah ada. Termasuk pajak atas tanah. Juga pajak atas perdagangan. Hingga pajak bagi orang asing. (Journal Unindra).Â
Praktik ini semakin menjadi intensif. Terutama pada era masa kolonial. VOC telah menerapkan sebuah contingenten. Yaitu pajak wajib hasil bumi. (Kumparan; Kompas.com).Â