Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945. Situasi di Hindia Belanda berubah sangat drastis. Sebuah bangsa baru telah memproklamasikan kemerdekaannya.Â
Bangsa itu adalah Republik Indonesia (Wikipedia). Kini, bangsa ini harus menghadapi kedatangan pasukan Sekutu.Â
Namun, respons para pemimpin Republik tidaklah seragam. Terjadi perbedaan sikap yang sangat mencolok. Ini terjadi antara pimpinan sipil dan militer. Mereka berbeda dalam menghadapi kekuatan asing ini (Tirto.id, 2021).Â
Perbedaan ini membentuk sebuah dinamika internal yang kompleks.Â
Dinamika ini akan memengaruhi jalannya revolusi kemerdekaan. Setiap pihak memiliki argumen dan strateginya sendiri. Hal ini menciptakan ketegangan di antara mereka.
Perbedaan Pendekatan Awal
Pihak Sekutu, terutama Inggris, datang dengan asumsi. Mereka mengira situasi di Hindia Belanda kacau.Â
Asumsi ini muncul setelah Jepang menyerah. Informasi intelijen awal mereka sangat terbatas. Informasi itu banyak dipengaruhi oleh pihak Belanda (Huygens Instituut).Â
Namun, ada perwira Inggris yang berpikir berbeda. Namanya Letnan Kolonel Laurens van der Post. Ia pernah ditahan oleh Jepang di Cimahi.Â
Karena itu, ia memiliki pandangan yang lain. Van der Post sangat memahami sentimen anti-Belanda. Sentimen ini kuat di kalangan orang Indonesia.Â
Sayangnya, peringatan penting ini kurang diindahkan (Danny Reviews; Wikipedia). Akibatnya, tentara Inggris mendarat di Jakarta.Â
Peristiwa itu terjadi pada September 1945. Mereka datang dengan beberapa tujuan utama.Â