Ide mobil nasional terus menjadi perdebatan. Ini sudah berlangsung puluhan tahun di Indonesia. Dari Kijang hingga Esemka, selalu ada harapan. Setiap proyek baru juga memicu keraguan.Â
Kini, Maung Garuda dari Pindad kembali hadir. Diskusi ini kembali bangkit. Namun, apakah konsep "mobil nasional" masih relevan? Industri otomotif global terus berubah.
Asumsi di Balik Hasrat "Nasional"
Ada keyakinan mendasar. Memiliki mobil berlabel "nasional" adalah keharusan. Narasi yang berkembang menempatkannya sebagai pencapaian tertinggi.Â
Seolah-olah Indonesia belum sepenuhnya mandiri. Tanpa merek mobil sendiri, kita dianggap gagal. Padahal, definisi "mobil nasional" itu kabur (Wikipedia, 2024).Â
Jika kita telaah lebih dalam, maknanya tak jelas. Apakah setiap komponen harus buatan dalam negeri? Atau cukup mereknya saja yang lokal?
Contohnya adalah mobil Timor di era 90-an. Proyek ini diatur melalui beberapa regulasi. Ada Inpres No. 2 Tahun 1996. Ada juga Keppres No. 42 Tahun 1996. Regulasi ini menunjuk PT Timor Putra Nasional (TPN).Â
TPN menjadi pelopor industri kendaraan nasional. TPN mendapat banyak fasilitas. Ada pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).Â
Ada juga pembebasan bea masuk komponen impor (Wikipedia, 2024). Mobil ini digadang-gadang sebagai mobil nasional. Namun, sebagian besar komponennya masih impor.Â
Mobil Timor S515 adalah contohnya. Itu adalah hasil rebadge dari Kia Sephia. Mobil itu berasal dari Korea Selatan (Intisari, 2023).
Kemudian ada Toyota Kijang. Mobil ini diluncurkan tahun 1977 (Wikipedia, 2024).Â
Kijang adalah hasil kemitraan. Mitra itu adalah PT Toyota Astra Motor. Juga dengan Toyota dari Jepang (Hurricane.co.id, Tahun tidak spesifik; Toyota Astra, 2022).Â