Selain itu, kontribusinya juga terlihat jelas. Ia berperan dalam pendirian kantor berita Antara (Badan Bahasa, tidak disebutkan tahun).Â
Ia juga aktif dalam majalah Pujangga Baru. Majalah itu turut membentuk khazanah sastra. Juga membentuk bahasa modern Indonesia (Andriew, 2011).
Evolusi Pemikiran dan Kontradiksi Internal
Sanusi Pane dikenal luas sebagai "antipoda" Takdir. Ia lawan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (Tirto, tidak disebutkan tahun; Salihara, tidak disebutkan tahun).Â
Keduanya punya pandangan yang sangat berbeda. Pandangan itu tentang arah kebudayaan Indonesia. Takdir berpendapat Indonesia harus melangkah maju.Â
Caranya dengan mengambil nilai-nilai modernitas Barat. Baginya, organisasi pergerakan pun terpengaruh Barat. Sebaliknya, Sanusi Pane punya keyakinan lain. Ia yakin Indonesia adalah kelanjutan masa lalu.Â
Menurutnya, sejarah adalah rantai tak terputus. Kebudayaan Barat dianggapnya terlalu materialistis. Juga terlalu individualistis. Sementara kebudayaan Timur ia yakini berbeda. Budaya timur lebih fokus pada spiritualisme. Juga fokus pada kolektivisme.
Namun, menariknya, pandangan mereka tidak statis. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka "saling berbalik arah". Mereka berbalik dari pendirian awal mereka.Â
Takdir, di kemudian hari, mulai sadar. Ia sadar bahaya jika sepenuhnya meniru Barat.Â
Sanusi Pane, dalam dramanya "Manusia Baru", mencoba menyatukan dua filosofi. Yaitu Faust, simbol Barat pengejar materi. Dan Arjuna, simbol Timur yang spiritual (Tirto, tidak disebutkan tahun). Ini adalah upaya sintesa materialisme dan spiritualisme.
Ironisnya, J.U. Nasution menilai upaya itu. Kritikus sastra itu menilainya gagal (Tirto, tidak disebutkan tahun; OJS Badan Bahasa, tidak disebutkan tahun).Â
Ada adegan tokoh Saraswati meninggalkan budaya lama. Ia memilih untuk memulai hidup baru. Ini dianggap tidak mencapai sintesa yang diinginkan.Â