Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Datang Sebagai Musuh, Gugur Sebagai Saudara

9 Juli 2025   21:00 Diperbarui: 3 Juli 2025   22:18 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yang Chil Sung, Masharo Aoki dan Guk Jae-man. (2021/Dokumen keluarga Raden Ojo via Merdeka.com)

Mengapa tentara penjajah mau mati untuk Indonesia? Di Garut, beberapa kombatan Jepang dan Korea bergabung. Mereka menjadi bagian Laskar Pangeran Papak. Laskar ini didirikan 27 Oktober 1945. Ini kisah pengorbanan mereka.

Kenapa kita harus peduli? Karena ini lebih dari sejarah. Ini adalah bukti kemanusiaan. Bukti bahwa keinginan merdeka itu milik semua orang. Tidak peduli bangsa atau warna kulitnya. 

Para kombatan asing itu melihat sesuatu di sini. Sesuatu yang layak mereka bela sampai mati. Kisah mereka mengajarkan kita. Ikatan persaudaraan bisa lebih kuat daripada ikatan darah.

Kekuatan terbesar pengikat mereka bukanlah ideologi. Tapi ikatan personal yang mendalam. Mereka menemukan keluarga baru. Bersama puluhan kombatan asing lainnya. 

Di tengah pasukan gerilya. Mereka diterima tanpa memandang asal-usul. Di Laskar Pangeran Papak, mereka diberi nama baru. Seperti Komarudin dan Abu Bakar. Mereka memeluk agama Islam. Mereka makan dan tidur bersama pejuang lokal. 

Proses membaur inilah yang mengubah loyalitas mereka. Para sejarawan menekankan hubungan personal ini. Sangat penting dalam keputusan mereka membelot. 

Ikatan dengan komandan atau kawan. Ternyata lebih kuat daripada perintah dari Tokyo. Mereka tidak lagi merasa sebagai orang asing. Mereka telah menjadi bagian dari sebuah komunitas. Sebuah keluarga besar. Berjuang untuk tujuan yang sama. 

Perasaan diterima dan memiliki inilah. Yang membuat mereka rela mengangkat senjata. Bertempur mati-matian melindungi rumah baru mereka.

Bagaimana proses musuh menjadi saudara? Itu terjadi lewat beberapa tahapan. Semuanya sangat manusiawi.

- Diterima Tanpa Curiga

Laskar Pangeran Papak berbeda. Komandannya, Mayor SM Kosasih, punya pikiran terbuka. Dia tidak melihat mereka sebagai bekas musuh. Dia melihat mereka sebagai manusia. Manusia yang punya keahlian. 

Para kombatan asing ini diterima dengan baik. Mereka tidak diinterogasi berlebihan. Sebaliknya, mereka langsung dirangkul. Kepercayaan ini adalah kunci pertama. Kepercayaan dari SM Kosasih. Membuat serdadu asing merasa dihargai. 

Mereka merasa menemukan tempat. Tempat keahlian mereka berguna. Bukan lagi alat perang penjajah. Tapi bagian dari perjuangan bersama. Ini adalah awal dari sebuah loyalitas baru.

- Lahir Kembali dengan Identitas Baru

Nama adalah sebuah identitas. Untuk jadi bagian keluarga baru. Mereka butuh identitas baru. Yang Chil Sung dari Korea menjadi Komarudin. Nama yang sangat umum di tatar Sunda. Masharo Aoki dari Jepang menjadi Abu Bakar. 

Nama-nama ini bukan sekadar samaran. Ini adalah simbol kelahiran kembali. Mereka juga memilih masuk Islam. Mengikuti keyakinan kawan-kawan barunya. 

Proses ini adalah penanda asimilasi total. Mereka melepaskan masa lalunya. Mereka memeluk masa depan sebagai orang Indonesia.

- Ilmu Dibalas Rasa Hormat

Hubungan mereka bukan hubungan satu arah. Para kombatan asing punya keahlian militer. Mereka ahli strategi. Ahli menggunakan senjata modern dan membuat bom. 

Ilmu ini sangat berharga bagi para pejuang lokal. Mereka mengajarkan cara menyabotase jembatan. Mereka melatih cara bergerilya yang efektif. Sebagai gantinya, mereka mendapat sesuatu. Sesuatu tak ternilai, yaitu rasa hormat. 

Para pejuang lokal melihat mereka sebagai guru. Rasa saling membutuhkan ini mengikat mereka. Dalam ikatan dari keringat dan tujuan sama.

Perjuangan mereka berakhir tragis. Mereka ditangkap pada akhir 1948. Lalu diadili dan dieksekusi. Oleh militer Belanda. Berita koran Belanda Het Dagblad. Mengonfirmasi eksekusi itu (24 Mei 1949).

Kisah Komarudin dan kawan-kawannya mengajarkan kita sesuatu. Bahwa tanah air bukanlah sekadar tempat kita dilahirkan. Tanah air adalah sebuah tempat. 

Tempat di mana hati kita diterima. Tempat di mana kita merasa dihargai. Dan tempat kita menemukan sebuah keluarga. Di sanalah rumah kita yang sebenarnya. Di sanalah loyalitas kita berlabuh. Tidak peduli kata peta atau paspor.

Di makam pahlawan Garut, mereka berbaring. Bukan lagi sebagai orang asing. Tapi sebagai anak bangsa. Yang memilih sendiri rumahnya.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun