Di hadapan mahalnya biaya kuliah. Sebuah pilihan sulit kerap muncul. Satu tombol bisa terasa seperti jawaban. Namun keputusan sebenarnya jauh lebih rumit dari sekadar satu klik.
Layar laptop menyala terang. Menampilkan dua belas juta rupiah. Angka itu adalah tembok. Almira menatapnya lekat. Ini bukan tentang tugas kuliahnya.Â
Ini tentang masa depan Asih, adiknya. Wajah penuh harap Asih seakan terpantul di permukaan layar yang gelap.
Angka Rp 12.000.000 itu terasa kejam. Bagi orang dengan keuangan seperti dirinya. Denyut tajam terasa di pelipis Almira.
Ia menghirup napas pelan, mencium aroma kopi sisa semalam. Ibu di kampung sudah coba. Tapi jalan terasa buntu.
Tiba-tiba, sebuah pop-up muncul di laman berikutnya. 'Solusi Cerdas Pendidikan.' Tawarannya menggiurkan. Terlihat seperti satu-satunya jalan keluar. Sebuah pintu yang terbuka di tengah tembok.
Harapan melawan ketakutan. Kursor mouse bergerak ragu di atas tetikus yang licin. Mendekati tombol 'Ajukan Sekarang'. Setiap milimeter pergerakan terasa begitu berat. Ini keputusan puluhan juta.Â
Jari telunjuk Almira menggantung. Tepat di atas tombol klik kiri mouse. Satu tekanan kecil. Bisa mengubah segalanya. Untuk Asih. Untuk keluarganya.
Pintu Harapan atau Paradoks Berbahaya?
Menjerat generasi produktif dengan utang. Untuk mengakses pendidikan tinggi adalah paradoks berbahaya. Wacana student loan di Indonesia.Â
Meski terdengar sebagai solusi cepat. Berisiko tinggi memindahkan beban kegagalan sistemik kepada individu (EMEDIA DPR RI, 2024).
Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa. Tanpa jaminan penyerapan kerja yang tinggi dan gaji yang sepadan. Skema pinjaman berbasis waktu dapat jadi bom waktu finansial bagi lulusan (Ajaib, 2020).
Tingkat pengangguran terdidik. Serta ketidakpastian ekonomi pasca-kelulusan di Indonesia. Membuat risiko gagal bayar jadi ancaman nyata. Yang berpotensi membahayakan stabilitas finansial. Baik dari pihak peminjam dan lembaga keuangan.
Fokus pemerintah harusnya. Tidak pada bagaimana cara berutang yang lebih mudah. Tapi pada bagaimana cara memperluas akses tanpa utang. Solusi yang berkelanjutan sudah ada dan perlu dioptimalkan.
Pertama, optimalisasi dana abadi pemerintah. LPDP punya mandat menyalurkan beasiswa. Kini ada dorongan pemanfaatannya dikaji ulang. Untuk kebutuhan dalam negeri lebih masif (Antaranews, 2024).
Ini sumber daya finansial signifikan. Dana ini mampu dialihkan. Untuk mensubsidi biaya UKT. Juga menyediakan beasiswa penuh. Bagi mahasiswa berprestasi dalam negeri.
Kedua, penguatan peran sektor swasta. Melalui program CSR mereka. Banyak perusahaan Indonesia punya program beasiswa. Ini bagian tanggung jawab sosial mereka.Â
Hal ini terbukti berdampak positif. Pada peningkatan akses pendidikan. Bagi masyarakat kurang mampu (Jurnal Cendikia, 2024).
Skema ini beragam bentuknya. Mulai dari beasiswa penuh. Hingga bantuan biaya hidup. Menawarkan jalan bebas utang bagi mahasiswa. Dengan insentif yang mendukung. Kontribusi korporat dapat menjadi pilar penting.
"Mendorong mahasiswa berjuang raih beasiswa. Adalah investasi pada kualitas. Sementara mendorong mereka ke utang. Adalah pertaruhan pada ketidakpastian."
Sebuah Pilihan di Pagi Hari
Pagi datang membawa kepastian. Cahaya matahari menerobos celah jendela kamar Almira. Mengusir sisa remang dan keraguan semalam. Ia tidak terlihat lelah. Matanya jernih, gerakannya tegas.
Di layar laptop. Laman penawaran pinjaman masih terbuka. Dengan satu klik mantap, Almira menutup tab itu.
Ia menarik napas dalam. Lalu membuka sebuah dokumen baru. Sebuah spreadsheet rapi berisi puluhan baris. Nama-nama perusahaan. Jenis beasiswa. Tautan pendaftaran. Dan tenggat waktu.Â
Hasil risetnya semalaman. Ini bukan jalan pintas. Ini jalan perjuangan.
Almira memanggil adiknya, Asih. Baru saja bangun. Ia memutar laptop itu menghadap adiknya. Menunjukkan barisan harapan yang tersusun rapi. Bukan angka utang yang mengerikan.
"Kakak gak mau ngutang untuk kuliahmu, Dek," kata Almira pelan. Suaranya mantap. "Jalannya adalah perjuangan. Kita coba ini dulu, sama-sama."
---
Ilustrasi Almira bukan tentang menolak utang. Melainkan tentang menolak jalan pintas yang menipu. Solusi sejati atas tembok biaya pendidikan tidak terletak pada pinjaman yang mudah. Tapi pada kegigihan mencari peluang yang membebaskan.
Solusi yang mengajarkan. Bahwa kemandirian finansial di masa depan dibangun oleh keputusan berani hari ini. Bukan oleh cicilan yang meringankan untuk sementara.
Pertanyaan fundamentalnya harus diubah. Dari 'Bagaimana cara saya membayar?' menjadi 'Mengapa saya layak untuk didanai?'.
Pergeseran ini mengubah posisi kita. Dari calon debitur jadi talenta berharga yang memperjuangkan sebuah investasi. Ini adalah langkah pertama. Untuk merebut kembali kendali. Atas narasi masa depan kita sendiri.
Karena pendidikan adalah hak yang pantas diperjuangkan. Bukan komoditas yang dicicil. Pilihan itu ada di tangan kita semua.
***
Referensi:
- EMEDIA DPR RI. (2024). Bramantyo Suwondo Nilai 'Student Loan' Miliki Risiko Tinggi Jika Lulusan Tak Segera Dapat Pekerjaan. Diakses dari https://emedia.dpr.go.id/2024/07/01/bramantyo-suwondo-nilai-student-loan-miliki-risiko-tinggi-jika-lulusan-tak-segera-dapat-pekerjaan/
- Antaranews. (2024). Kemendiktisaintek kaji ulang kebermanfaatan dana LPDP untuk Indonesia. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/4432553/kemendiktisaintek-kaji-ulang-kebermanfaatan-dana-lpdp-untuk-indonesia
- Jurnal Cendikia. (2024). Peran Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Meningkatkan Akses Pendidikan Melalui Dana Bantuan. Diakses dari https://jurnal.kolibi.org/index.php/cendikia/article/download/4674/4400/16957
- Ajaib. (2020). Mengenal Student Loan Indonesia, Layakkah Dicoba?. Diakses dari https://ajaib.co.id/mengenal-student-loan-indonesia-layakkah-dicoba/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI