Di tengah tuntutan akademis yang ketat, seringkali nilai terpenting justru tidak tertulis di lembar ujian. Kisah berikut adalah potret dari sebuah kelas yang menemukan pelajaran paling berharga justru dari sebuah kegagalan.
Pak Damar menatap kelasnya. Riuh. Tapi ini bukan riuh diskusi. Ini riuh perpecahan. Tugas kelompok itu gagal total. Padahal tujuannya sederhana. Proyek sosial kecil. Demi nilai Profil Pelajar Pancasila.
Pandangannya jatuh pada satu meja. Ezra, si pintar, bekerja sendirian. Kertasnya hampir penuh tulisan. Di sebelahnya, Nadia hanya menunduk pasrah. Dua anak lain saling berbisik tajam. "Ini semua salahmu," desis satu suara.
Pak Damar menghela napas pelan. Dia teringat rapor Ezra. Angka akademisnya sempurna. Tapi kolom nilai sosialnya? Kosong. Ini masalah yang lebih besar. Bukan sekadar tugas yang gagal.
Waktu habis. Kelompok Ezra berjalan ke depan. Wajah mereka masam, siap menerima vonis. Kelas mendadak hening. Hanya terdengar derit kipas angin tua.
Pak Damar menatap mereka satu per satu. Tenang. "Kita tidak akan membahas hasil proyek kalian hari ini."
---
Keputusan Pak Damar mungkin terasa ganjil. Namun tindakannya berakar pada pergeseran mendasar dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan nilai bukan lagi sekadar teori usang di dalam buku teks.
Dalam kerangka Kurikulum Merdeka. Pendidikan nilai jadi jantung dari proses belajar. Diwujudkan melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau P5 (Kemendikbud, 2024).
Tujuannya jelas. Untuk membentuk pelajar yang tidak hanya unggul secara akademis. Tapi juga utuh secara karakter.