Apalagi jika motifnya didasari alasan keseimbangan sosial atau penolakan simbol agama. Ini menakutkan, karena menunjukkan ada bibit intoleransi yang sistematis.
Ironisnya, survei dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) di UIN Jakarta (Kompas.id). Menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa justru memiliki tingkat toleransi rendah atau sangat rendah.Â
Ini paradoks yang harus kita pecahkan. Jangan sampai kebanggaan akan keberagaman itu hanya kosmetik. Mudah luntur ketika berhadapan dengan perbedaan keyakinan yang fundamental.Â
Saya cenderung melihatnya dari perspektif ini. Karena apa artinya statistik kebanggaan. Jika tidak tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari? Bagaimana kita mewariskan Indonesia yang damai kepada generasi penerus jika fondasinya terus digerogoti?
Pendidikan Multikultural Kunci Harmoni Bangsa
Dalam kegelisahan ini, saya teringat pada gagasan Will Kymlicka, yang diulas dalam Jurnal Muqoddima Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (2023).Â
Kymlicka dalam teorinya tentang multikulturalisme interaktif, menekankan bahwa pengakuan formal saja tidak cukup. Yang lebih krusial adalah bagaimana masyarakat secara aktif mendorong interaksi dan dialog antar kelompok yang berbeda. Ini intinya.Â
Bukan sekadar kita tahu bahwa tetangga kita beda agama. Tapi soal mau membuka diri untuk saling memahami. Bukan cuma tahu kulit luarnya saja.
Gagasan ini sejalan dengan apa yang saya yakini sebagai solusi akar rumput, yakni penguatan pendidikan multikultural. Bukan hanya sebagai mata pelajaran. Tapi sebagai sebuah gerakan.Â
Membaca hasil penelitian Jurnal IKRAITH-ABDIMAS, yang secara gamblang menyebut. Bahwa program sosialisasi dan pendidikan multikultural secara partisipatif terbukti efektif meningkatkan pemahaman siswa SMA tentang keberagaman.Â
Memperkuat nilai toleransi, dan yang terpenting, menurunkan potensi konflik sosial.
Bayangkan anak-anak kita sejak dini, tidak hanya dijejali teori, tapi diajak mengalami langsung indahnya perbedaan.Â