Ini menunjukkan adanya celah dalam penegakan hukum kita. Tanpa sanksi tegas dan konsisten, pelaku pembakaran merasa tidak ada konsekuensi besar. Akibatnya, karhutla terus terjadi setiap tahunnya.
Kolaborasi Lintas Sektor
Penegakan hukum saja tidak cukup untuk mengatasi karhutla. Kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan. Kolaborasi ini melibatkan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.Â
Pembentukan Desk Karhutla melibatkan KLHK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Hal ini memperkokoh koordinasi penanggulangan karhutla.Â
Kolaborasi ini membuat pencegahan dan penanggulangan lebih terstruktur. Upaya ini juga lebih terkoordinasi dengan baik (Kementerian Kehutanan, 2025).
Sinergi antara pihak-pihak ini terlihat dalam partisipasi masyarakat. Masyarakat di daerah rawan kebakaran seperti Riau dan Sumatera terlibat aktif. Mereka berperan dalam deteksi dini titik api.Â
Contohnya, kelurahan tangguh bencana dan kelompok tani. Mereka memperluas jaringan deteksi titik api. Mereka juga mempercepat respons terhadap kebakaran. Keberhasilan ini membuktikan pentingnya peran masyarakat. Peran ini harus lebih dimaksimalkan.
Sektor swasta juga memegang peranan besar dalam mencegah kebakaran. Perusahaan yang memiliki konsesi lahan harus lebih bertanggung jawab.Â
Perusahaan kelapa sawit sering terlibat dalam karhutla. Mereka harus memastikan sistem pemantauan kebakaran yang baik. Sistem ini harus ada di lahan yang mereka kelola.Â
Bila lalai menjaga lingkungan, mereka harus siap menerima sanksi berat. Sanksi ini tidak hanya berupa denda ringan.
Teknologi dan Kebijakan Preventif
Penegakan hukum dan kolaborasi lintas sektor saja tidak cukup. Upaya teknis juga berperan penting dalam penanggulangan karhutla. Salah satu upaya adalah Operasi Modifikasi Cuaca (OMC). OMC bertujuan mencegah perluasan api di lahan gambut.Â
Pada 1--7 Mei 2025, operasi ini berhasil membatasi api di Riau (Antara News, 2025). Meski efektif, hasilnya tidak optimal tanpa kebijakan preventif. Kebijakan preventif yang matang sangat diperlukan untuk mendukung operasi ini.