Masalah ini makin rumit dengan stigma self-love, yang sering dianggap egois atau sombong.Â
Dalam budaya kolektif yang menghargai kebersamaan, self-love sering disalahartikan. Padahal self-love yang sehat dapat meningkatkan kesejahteraan mental dan produktivitas dalam hubungan sosial.
Data menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang Indonesia mengalami gangguan mental, tapi hanya 9% yang mencari bantuan profesional (Liputan6, 2023).Â
Hal ini menunjukkan ada ketakutan untuk membuka diri terhadap masalah kesehatan mental karena stigma. Masyarakat sering memandang mereka yang mengutamakan diri atau mencari bantuan psikologis sebagai orang lemah atau egois.Â
Ketakutan ini membuat banyak orang enggan menerapkan self-love, walau berguna untuk kesehatan mental.
Misinterpretasi Self-Love: Egoisme atau Kesehatan?
Salah satu misinterpretasi terbesar tentang self-love adalah anggapan bahwa mencintai diri sendiri itu egois.Â
Dalam banyak situasi, seseorang yang memberi waktu untuk dirinya sendiri dianggap melanggar norma sosial yang mengedepankan gotong royong.Â
Misal, saat seseorang memilih untuk beristirahat atau fokus pada kesejahteraannya, orang lain mungkin merasa itu egois atau tidak peduli.
Padahal self-love yang sehat mendorong seseorang lebih produktif dan empatik terhadap orang lain. Bukti menunjukkan bahwa self-love yang sehat meningkatkan resiliensi dan empati.Â
Contoh, ibu pasca melahirkan yang menerapkan self-compassion mengalami penurunan gejala depresi hingga 40% (Liputan6, 2023). Ini menunjukkan bahwa merawat diri membuat seseorang mampu berfungsi dalam kehidupan sosial.Â
Sebaliknya, mengabaikan diri demi memenuhi kebutuhan orang lain justru meningkatkan risiko stres dan masalah kesehatan mental.