Mencintai diri sendiri di tengah budaya kolektif Indonesia, tantangan, stigma, dan solusi untuk keseimbangan hidup.
Mencintai diri sendiri atau self-love sering mudah diucapkan. Namun sulit dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Terutama di Indonesia, di mana budaya kolektif sangat kental.Â
Sering kita mengutamakan keharmonisan dengan orang lain. Baik di keluarga, tempat kerja, atau circle pertemenan. Hal ini sering membuat kita lupa diri sendiri.Â
Sebenarnya bagaimana pengaruh budaya kolektif pada self-love? Apa tantangan yang dihadapi? dan bagaimana cara menyeimbangkan keduanya?
Budaya Kolektivisme dan Dampaknya terhadap Self-Love
Di Indonesia, budaya kolektivisme mendominasi interaksi kita sehari-hari. Mengutamakan kepentingan bersama dan keharmonisan sosial adalah nilai utama.Â
Tidak heran, kita sering mendahulukan orang lain daripada diri sendiri. Dalam keluarga, teman, atau tempat kerja, sering kita mengabaikan diri demi orang lain.Â
Misal, seorang karyawan terpaksa lembur meski lelah, karena tidak ingin mengecewakan tim atau bos. Atau anak yang menuruti permintaan orang tua meski merasa tidak nyaman. Hal ini dianggap sebagai kewajiban sosial.
Namun jika terus mengabaikan diri untuk memenuhi ekspektasi orang lain, kita akan merasa lelah mental dan fisik. Ini membuat kita sulit mencintai diri sendiri.Â
Teori Individualisme vs. Kolektivisme oleh Geert Hofstede menjelaskan bahwa dalam budaya kolektif, kepentingan kelompok lebih penting daripada kepentingan pribadi.Â
Ini menyebabkan self-love sering bertabrakan dengan nilai masyarakat. Ketika kita ingin merawat diri, kita sering merasa bersalah karena mengorbankan perhatian untuk orang lain.