Mengungkap stagnasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan akar mentalitas korupsi yang menghambat perubahan.
Mengamati Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, mungkin akan terasa sedikit frustrasi. Tiap tahun kita hanya berputar-putar di angka 34 hingga 37.Â
Meski banyak upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan. Hasilnya tetap stagnan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Indonesia dengan segala reformasi dan kebijakan baru, tidak mampu mengubah skor ini secara signifikan?Â
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus lebih mendalam melihat apa yang sebenarnya menghambat perubahan.
CPI Mandek, Bukan Soal Gaya Baru, Tapi Akar Lama
Selama sepuluh tahun terakhir, meski ada kebijakan dan peraturan baru yang diberlakukan, CPI kita hanya berputar di angka 34 hingga 37. Apa yang salah?Â
Pada dasarnya, kita harus lihat lebih dalam dari sekadar angka atau kebijakan. Stagnasi ini bukan karena bentuk korupsi baru yang muncul, tetapi lebih kepada mentalitas korupsi yang sudah terinstitusionalisasi.
Menurut Laporan Transparency International Indonesia (2025), meski skor CPI Indonesia naik sedikit menjadi 37 pada 2024. Kenaikan ini sebenarnya tidak signifikan.Â
Hal ini disebabkan oleh perbedaan metodologi penilaian yang diterapkan. Ketika penilaian dilakukan dengan indikator yang lama. Skor Indonesia tetap stagnan di angka 34.Â
Ini menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit peningkatan angka. Dalam kenyataannya, praktik korupsi masih dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang sulit diubah.Â
Coraknya pun bukan lagi korupsi yang hanya dilakukan oleh beberapa oknum. Melainkan jadi kebiasaan yang diterima begitu saja dalam birokrasi.