Satu dekade Jokowi dalam lagu, rangkuman era kepemimpinan melalui melodi ikonik Indonesia, dari harapan hingga perubahan.
Selalu ada momen tertentu dalam hidup, yang terbawa lagi saat mendengar sebuah lagu.Â
Ada lagu yang mengingatkan kita pada kisah cinta pertama. Ada yang membawa kita ke hari-hari sulit. Ada pula yang seakan menjadi soundtrack perjalanan kita.Â
Musik, dengan caranya sendiri. Mampu menangkap perasaan kolektif dalam suatu masa. Â
Satu dekade kepemimpinan Joko Widodo (2014-2024), Indonesia melewati berbagai perubahan.Â
Dari euforia awal, gelombang kritik, hingga transisi menuju era baru. Jika kita rangkum dengan cara yang lebih dekat dengan keseharian, musik bisa jadi lensa yang menarik. Â
2014: Euforia Awal dan Harapan Besar Â
Tahun 2014 adalah momen yang penuh semangat bagi Indonesia. Joko Widodo terpilih sebagai presiden.Â
Dalam atmosfer politik yang penuh optimisme. Ia datang dengan citra merakyat. Sering blusukan. Membawa harapan perubahan besar bagi rakyat. Â
Di tahun yang sama, Tulus merilis lagu Gajah. Liriknya bicara tentang perjalanan seseorang. Yang terus maju meski banyak yang meragukannya.
Gajah jadi simbol euforia awal pemerintahan. Jokowi masuk panggung politik nasional sebagai sosok yang tampaknya sederhana. Tapi membawa kekuatan besar di baliknya. Â
Namun, seperti yang sering terjadi dalam politik. Bulan madu ini tidak berlangsung lama. Â
2016: Gelombang Kritik dan Perpecahan Politik Â
Dua tahun berlalu, dan Jokowi menghadapi ujian besar. Salah satunya adalah kasus yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).Â
Kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Isu agama dan politik bercampur. Menciptakan polarisasi tajam di masyarakat. Â
Di tahun ini, band grindcore Rajasinga merilis Masalah Kami di Negeri Ini. Mencerminkan keresahan publik terhadap berbagai peristiwa politik. Lagu ini penuh amarah. Seperti jeritan protes terhadap keadaan yang dirasa tidak adil. Â
Pada masa ini, citra Jokowi yang awalnya merakyat mulai menghadapi tantangan. Demonstrasi besar-besaran. Perdebatan di media sosial. Dan perpecahan politik semakin terlihat jelas. Â
2020: Pandemi, Ketakutan, dan Refleksi Â
Tidak ada yang menduga bahwa 2020 jadi tahun yang begitu berat bagi seluruh dunia. Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Membatasi pergerakan. Mengubah cara hidup. Dan mengguncang ekonomi. Â
Di tengah situasi ini, Nadin Amizah merilis Bertaut. Lagu yang jadi simbol refleksi kolektif selama pandemi. Dengan lirik melankolis dan penuh makna. Lagu ini menangkap perasaan banyak orang yang tiba-tiba merasa kecil di tengah ketidakpastian.
Pandemi adalah ujian besar bagi pemerintahan Jokowi. Kebijakan seperti PSBB. Bantuan sosial dan vaksinasi massal jadi langkah penting dalam krisis.Â
Namun, tidak semua berjalan mulus. Kritik terhadap penanganan pandemi pun bermunculan. Terutama dalam hal komunikasi kebijakan yang membingungkan. Â
2022: Politik Dinasti dan Kekecewaan Publik Â
Dua tahun menjelang akhir masa jabatannya, isu politik dinasti mulai menguat. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Dan pengaruh Jokowi dalam pemilihan presiden 2024 menimbulkan perdebatan. Â
Pada tahun ini, David Bayu merilis lagu Deritaku. Lagu ini menggambarkan frustrasi publik terhadap keadaan politik yang stagnan. Liriknya seolah jadi cerminan dari mereka yang kecewa dengan arah demokrasi Indonesia. Â
Pada titik ini, banyak orang melihat Jokowi tak lagi sebagai pemimpin rakyat biasa. Tapi sebagai bagian dari elite politik. Yang memiliki kepentingan sendiri. Citra merakyat yang dulu kuat, perlahan memudar. Â
2024: Akhir Sebuah Era dan Harapan Baru Â
Dan akhirnya, kita sampai di 2024. Setelah satu dekade memimpin. Jokowi akan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Prabowo Subianto. Ada yang sedih. Ada yang lega. Ada pula yang skeptis. Â
Lagu Hidup Harus Tetap Berjalan dari Bernadya. Jadi penutup yang pas untuk era Jokowi. Menangkap perasaan transisi ini dengan apik. Â
Ini adalah akhir dari satu babak. Dan awal dari yang lain. Setiap pemerintahan memiliki masanya. Dan sejarah akan menilai. Apakah era Jokowi benar membawa perubahan yang diharapkan rakyat atau tidak. Â
Musik sebagai Rekam Jejak Sejarah Â
Sepuluh tahun Jokowi bukan hanya tentang kebijakan. Angka pertumbuhan ekonomi. Atau proyek infrastruktur. Sepuluh tahun ini adalah tentang bagaimana masyarakat merasakan perubahan itu. Baik yang optimis, maupun yang kecewa. Â
Seperti yang disampaikan laman MetroTvNews, musik bukan sekadar hiburan. Tapi juga medium untuk menyuarakan aspirasi dan kritik sosial.Â
Lagu-lagu yang telah kita bahas tadi bukan hanya kumpulan nada dan lirik. Tapi juga cerminan dari bagaimana rakyat merasakan dekade pemerintahan Jokowi. Â
Suatu hari nanti, ketika mendengar kembali lagu-lagu ini. Kita akan ingat pada momen-momen itu. Pada 2014 yang penuh harapan. 2016 yang penuh gejolak. 2020 yang penuh ketidakpastian. Dan 2024 yang menjadi akhir sebuah era. Â
Seperti lagu yang terus berputar, sejarah pun selalu berulang. Yang bisa kita lakukan adalah belajar dari nada-nada yang telah dimainkan. Dan bersiap untuk melodi baru di masa depan.
***
Referensi:
- CXO Media. (2024, 8 Oktober). Catatan 10 Tahun Jokowi Bersama 10 Lagu Indonesia 2014-2024. Diakses dari https: //www. cxomedia. id/general-knowledge/20241008142054-55-180864/catatan-10-tahun-jokowi-bersama-10-lagu-indonesia-2014-2024
- MetroTV News. (2025). Refleksi Musik Indonesia di Hari Musik Nasional 2025 [Video]. Diakses dari https: //www. metrotvnews. com/play/KZmCVq4W-refleksi-musik-indonesia-di-hari-musik-nasional-2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI