Akibatnya, banyak kios yang kosong, dan pasar pun terlihat sepi. Hal ini sejalan dengan temuan Tirto.id yang menyoroti keluhan pedagang terkait biaya sewa dan pungutan yang memberatkan.
Selain itu, faktor eksternal seperti penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga kebutuhan pokok dan perubahan perilaku konsumen yang beralih ke belanja online juga turut memperparah kondisi pasar tradisional.Â
Seperti yang diungkapkan dalam artikel Detik.com, persaingan dengan toko online menjadi salah satu tantangan berat bagi pasar tradisional.
Pandangan Menteri vs Realita Pedagang
Ironisnya, seringkali pandangan para pembuat kebijakan, termasuk Menteri UMKM, terkesan kurang selaras dengan realita yang dihadapi pedagang kecil.Â
Usulan Menteri UMKM untuk membuat e-commerce pemerintah sebagai solusi, misalnya, menuai banyak kritik.
Pernyataan Menteri UMKM yang mengaitkan sepinya pasar dengan judi online, seperti yang diberitakan oleh Kumparan.com, menunjukkan adanya potensi misinterpretasi terhadap akar masalah yang sebenarnya.Â
Meski judi online merupakan masalah sosial yang perlu ditangani, mengaitkannya secara langsung dengan sepinya pasar tradisional terkesan menyederhanakan persoalan yang kompleks.
Gagasan e-commerce pemerintah juga dinilai kurang efektif dalam menyelesaikan masalah mendasar pasar tradisional.Â
Seperti yang diulas Tirto.id, ide ini justru berpotensi menciptakan persaingan yang tidak sehat dengan platform e-commerce swasta yang sudah mapan .Â
Terlebih lagi, tidak semua pedagang tradisional memiliki kemampuan dan sumber daya untuk berjualan secara online.
Solusi yang Lebih Konkret
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan? Menurut saya, revitalisasi pasar tradisional membutuhkan pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga memperhatikan aspek ekonomi dan sosial pedagang.