Mohon tunggu...
Aida Ramli
Aida Ramli Mohon Tunggu... -

Visit my blog: tyaidaramlity.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Nasihat Terakhir Bapak

2 April 2015   18:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427977876148459779

Sebelum di bawa ke pemakaman. Kuperhatikan tubuh Bapak dibungkus kain kafan. Wajahnya terlihat pucat pasih. Aku hampir melupakan umur Bapak sudah enam puluh tahun lebih. Meski begitu, Bapak masih kuat mengaduk semendan memasang genteng rumah-rumah tetangga. Bapak selalu bersemangat bekerja demi membiayai kuliahku menjadi guru Agama, seperti cita-citanya.

Satu hari sebelum Bapak meninggal. Kami Beradu argumen diteras rumah. Bapak menasihaitiku, perihal keakrabanku dengan Basir,teman sejawatku yang telah menikah muda.

“Kamu inikan anak perawan. Jangan terlalu akrab dengan Basir. Diakan sudah beristeri. Tidak baik ndo. Apa kata tetangga nanti.”

“Bapak ini gimana to, Basir kan teman sekampus Yulia. Lagian kita ketemu bukan untuk macam-macam kok Pak!

“Tetap saja ndo, mana tau orang kampung tentang itu. Mereka pasti mengira kamu dan Basirberbuat macam-macam. Apalagi isterinya tau nanti.”

“Terserah Bapak saja mau percaya atau nda sama Yul.” Dengan wajah kecut, aku memandang laki-laki paruh baya itu.

“Bapak tegaskan lagi! Demi kebaikanmu. Jangan main-main dengan punya orang.” Suara Bapak meninggi. Seutas kalimat terakhir, yang sedikit membuatku terganggu. Setelahnya, Bapak masuk menemui Ibu dengan wajah kecut.

Bapak meninggal karena serangan jantung usai khutbah Jum’at di Mesjid di samping pendopo Bupati. Ketika itu, terhembus kabar Basir dan isterinya akan bercerai karena aku. Kini tak ada lagi suara Bapak. Rumah pasti akan sangat sepi. Hanya aku dan Ibu di rumah tua ini. Hatiku seakan dihantam baja. Selama Bapak hidup, nasihat Bapak tak banyak aku turuti.

Aku menangis dipangkuan Ibu, tak kuasa menahan rasa bersalah.

***

Sebulan setelah kepergian Bapak. Aku tidak pernah lagi berjumpa Basir. Aku memutuskan berhenti kuliah. Ibu menyesalkan keputusanku. “Bagaimanapun kamu harus tetap kuliah ndo. Jangan kamu langgar pesan Bapakmu. Kamu jangan mengkhawatirkan Ibu. Ibu masih mampu membiayai kuliahmu.” Tukas Ibu lirih.

“Maafkan Yulia Bu. Keputusan Yulia sudah bulat.” Ibu terdiam. Sungguh, aku tak berniat menolak keinginan tulusnya. Di lubuk hati paling dalam. Sebenarnya, aku masih ingin kuliah. Menyelesaikan skripsi dan meraih gelar sarjana. Keadaan memaksaku untuk berhenti.

Aku tak tega melihat Ibu mendorong gerobak sayur. Menjajakannya ke setiap kampung-kampung. Kalau tak laku, sore harinya, Ibu kembali berjualan dipasar. Sedangkan aku hanya duduk belajar, menerima materi dosen serta pulang dengan tangan hampa. “Yulia akan bekerja menggantikan Ibu. Yulia akan melanjutkan kuliah lagi nanti. Yulia akan menabung sedikit demi sedikit.”

Ya sudah, terserah kamu ndo. Ibu nda bisa berbuat apa-apa lagi.” Ku peluk tubuh mungil itu.

Tidak membutuhkan waktu lama, aku diterima bekerja di pabrik gula milik Pak Wahyudi, kerabat jauh Bapak. Sehabis bekerja di sana. Aku tak lekas pulang ke rumah. Para tetangga memintaku mengajar anak-anak mereka. Terkadang, aku membantu Mbok Tijah, tetanggaku membungkus kerupuk kulit untuk dijual ke pasar. Kupikir dengan cara seperti itu, aku bisa memenuhi kebutuhan kami dan menabung sedikit demi sedikit.

Beberapa bulan berjalan, ternyata semua di luar harapan. Gaji yang kuterima di pabrik gula tak cukup untuk kebutuhan makan aku dan Ibu sehari-hari. Upah yang kuterima membungkus kerupuk dan mengajar ngaji hanya cukup untuk membayar tagihan listrik dan ledeng. “Bagaimana ini Bu?Sepertinya Yulia harus ke kota besar.” Aku menatap Ibu penuh harapan.

“Tidak ndo, Ibu tidak mengijinkan. Seumur-umur kamu nda pernah meninggalkan rumah. Ibu takut terjadi apa-apa denganmu ndo. Cukup Bapakmu saja yang meninggalkan Ibu. Kehidupan di kota besar itu keras.” Celoteh Ibu, aku memaklumi kekhawatirannya.

***

Tengah malam, aku sulit untuk memejamkan mata. Aku teringat tentang mengadu nasib di kota. “Ndo, Ibu sudah memikirkannya. Kamu boleh bekerja di Semarang.” Kehadiran Ibu mengagetkanku. “Tetapi kamu harus tinggal bersama bule Hindun di sana. Katanya dia punya usaha toko kue. Mereka perlu pegawai.” Lanjutnya sumringah.

“Beneran Bu?” tanyaku seolah tak percaya.

“Tadi pagi bulemu nelpon. Ibu lupa ngasih tahu. Kamu mau?”

Yulia mau Bu,” Ibu tersenyum, ada perasaan berekecamuk di hatiku. Entahlah yang jelas aku ingin sekali bekerja ke kota.

Keesokan harinya, aku diantar Ibu ke stasiun kereta. Kulihat wajah Ibu tak seceria biasanya. Aku menjadi serba salah, tetap pergi atau menemani Ibu disini. “Apa Ibu akan baik-baik saja selama aku di Semarang?” tanyaku cemas.

“Ibu nggak sendiri kok ndo, ada tetangga yang akan menemani Ibu disini. Justru Ibu yang mengkhawatirkan kamu.” Tangan Ibu memegang erat lengaku. “Kamu harus ingat Yul, jaga diri baik-baik. Jangan lupa sholat. Kalau kamu ada masalah segera pulang. Jangan berlama-lama memendam masalah sendiri.”

Aku mengangguk. “Ibu jangan khawatir. Yulia akan baik-baik saja disana.” Tiba-tiba kereta yang akan mengantarkanku ketempat tujuan memberi isyarat akan segera berangkat. Aku memasuki gerbong kereta dengan cekatan.

Penumpang yang lain tak kalah sigapnya denganku. Kami saling berdesak-desakkan. Ku lirik wajah Ibu dari kejauhan. Terlihat semburan kesedihan di wajahnya. Apakah keputusanku merantau ke kota adalah pilihan tepat? Aku hanya berdoa dan berharap semua akan baik-baik saja. Seperti kata Ibu.

***

Beberapa bulan di Semarang, aku mengalami ketidakberuntungan. Bule Hindun yang ku pikir berhati malaikat, ternyata berwujud serigala bererkor tiga. Dia tak pernah bosan memarahiku di depan pembeli. Gaji selama menjadi pegawainya hanya cukup untuk makan. Sisanya hanya cukup untuk membeli kebutuhan hidup. Aku terkadang ingin pulang dan menangis dipangkuan Ibu. Ingin sekali aku mengatakan bahwa keadaanku tidak begitu baik di Semarang.

Mengingat raut wajah sendu Ibu, kuurungkan niat untuk kembali. Aku teringat tentang tawaran pekerjaan oleh seorang langganantoko kue bule Hindun, Bu Sarah namanya. Beliau menggambarkan pekerjaannya tidak terlalu rumit. Aku hanya perlu duduk manis mempresentasikan produk internet melalui telepon genggam. Siang itu, aku mengantar pesanan Bu Sarah kerumahnya. Tiba disana, aku terperangah. Rumahnya sangat besar dan terlihat masih baru. Terletak di daerah kawasan elit Bukit Sari Semarang. Ku pandangi satu persatu tanaman hias di sana. Ada Angsoka, bunga kamboja, pohon kaktus dan cemara tinggi menjulang di sekitar rumah. Suasana rumah nampak asri, persis seperti suasana dikampungku.

Ku tekan bel yang ada di depan pagar. “Permisi, Bu Sarahpanggilku lembut.

Dengan cekatan seorang perempuan memakai sanggul membukakan pintu pagar. “Siapa ya Mbak?” tanyanya sopan.

“Saya Yulia, mau nganterin pesanan Bu Sarah.” Sahutku. Perempuan itu mempersilahkanku masuk.

Aku sudah mendengar profil Ibu Sarah dari Mbok Mariati. Pembantu di rumah Bule Hindun. Bu Sarah adalah teman baik Bule Hindun. Suaminya seorang pejabat. Dia dewan direksi di perusahaan Telkom di Semarang. "Sudah lama nunggu?” Bu Sarah sudah berada di sampingku.

“Tidak juga Bu.” Jawabku seadanya.

“Bagaimana tawaran Ibu Yul? Mau nggak kerja di perusahaan suami Ibu?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Mau sekali Bu.” Bu Sarah tersenyum hangat.

“Kalo begitu, nanti saya akan bicara sama Hindun. Besok kamu datang aja ke kantor.” Dia menyerahkan kartu nama suaminya.

“Baik Bu, oh ya, Ini pesanan kue Ibu.”

“Terima kasih ya sudah mengantarkan. Saya senang, kamu terlihat pekerja keras dan tekun. Oh ya, kamu pernah kuliah?” pertanyaan Bu Sarah kali ini sedikit membuatku kesulitan menjawab.

“Pernah Bu, tapi saya berhenti setelah Bapak saya meninggal.” Aku menunduk.

“Oh ya, kuliah dimana?” tanyanya penasaran.

“STAI bu,” jawabku lesu.

Maaf ya Yul, Ibu buat kamu sedih ya?” Bu Sarah menepuk pundakku. Dari tutur kata dan perilakunya. Dia terlihat sangat hangat dan lembut. Berbeda jauh dengan Bule Hindun. Tidak pernah menghargai hasil kerjaku selama ini.

***

Bulan pertama bekerja, aku sudah bisa membantu keuangan Ibu. Hasil pensiunku dari di toko kue Bule Hindun. Ku pergunakan untuk membeli make-up, jilbab baru dan beberapa stel pakaian. “Pak Roy datang!” teriak Winda, karyawati bertubuh gempal. Buru-buru mereka merapikan bedak, menyisir rambut atau sekedar bercermin. Aku hanya diam melongo memperhatikan tingkah mereka. Kebetulan di bagian pemasaran, semuanya adalah perempuan.

Roy Ramantho Sarwono adalah suami Bu Sarah. Postur tubuhnya tinggi. Berkacamata, memiliki suara yang khas. Pak Roy sungguh berkhariasmatik. Kira-kira usianya 35 tahun, masih terbilang muda memang. Pak Roy banyak di kagumi karyawati di bagian pemasaran. Karena wajahnya yang rupawan.Seminggu sekali apabila tidak ada kesibukan, Pak Roy mengevaluasi kami. Itu yang membuat perusahaannya terbilang maju.

Pada suatu kesempatan, aku berada di satu lift bersama Pak Roy. Entah darimana awalnya, dia bercerita banyak mengenai perjuangannya hingga berhasil sampai sekarang. Dia mengutarakan kecintaannya pada seni kaligrafi. Sejak saat itu, aku mengagumi Pak Roy secara diam-diam. Dia mengingatkanku pada sosok Bapak.

Pertemanan kami berlanjut, kadang Pak Roy mengajakku makan siang bersama di luar tanpa sepengetahuan Bu Sarah. Dia berdalih sangat menyukai keluwesanku dalam bertutur kata. Aku tak menampik bahagia mendengar itu. Terlebih, Pak Roy memperlakukan ku sangat baik. “Mulai sekarang jangan panggil aku Pak ya! Panggil saja Mas Roy. Terkesan tua kalo Yulia panggil Bapak Jelasnya. Aku membatin.

Siang itu, kami kembali bertemu. Pak Roy seperti biasa mengajakku makan siang. Dia kembalibercerita mengenai kehidupan rumah tangganya bersama Bu Sarah. “Aku dan Sarah hidup bersama 12 tahun lebih dan kami masih belum dikaruniai anak.” Sesekali dia meneguk teh hijau di depannya. “Mas ingin sekali punya anak Yul.” Lanjutnya. Aku hanya diam sampai ia menghabiskan cerita. “Aku merasa tak ada gunanya mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Kehadiran seorang anaklah yang aku butuhkan sekarang.” Dia mendekati wajahku, seketika itu jantungku naik turun.

“Bisakah kau memberikannya Yul?” tanyanya. Aku masih diam. “Kalo kamu mau, aku akan memnyekolahkanmu lagi, memberimu kendaraan, deposito, rumah dan apapun yang kamu mau.” percakapan kami terhenti setelah sekretaris Pak Roy menghampiri.

***

Sejak Pak Roy mengutarakan keinginannya memiliki anak dariku. Aku tak pernah melihatnya lagi. Aku rindu aroma tubuhnya, suaranya dan kerlingan matanya setiap kali berkeluh kesah tentang kehidupannya yang kering kerontang. Aku telah bermain api dengan Pak Roy dan melupakan statusnya sebagai suami orang.

Teringat, akan nasihat terakhir Bapak. Aku menjadi merasa bersalah dengan Bu Sarah. Bagaimanapun ia yang telah mengeluarkanku dari pekerjaan sebagai babu di toko kue Buleku sendiri. Pagi itu, Ibu menelpon suaranya payau.

“Malam tadi Ibu mimpi. Kamu menikah dengan Basir. Ibu melihat Bapakmu menangis.” Suara Ibu semakin berat. “Ibu ingin kamu pulang ndo. Ibu takut mimpi itu kejadian.” Aku tak mengerti dengan maksud Ibu. Dengan tenang aku memberitahu Ibu. Bahwa tak akan terjadi apa-apa denganku. Lalu aku menutup telepon dari Ibu dengan setumpuk pertanyaan.

Di bulan kelima. Wajah serius yang ku rindukan kini berada di ruang lobi bersamaan dengan Bu Sarah. Mereka tampak bahagia. Dengan sebundel undangan masing-masing di tangan mereka. “Selamat ya Pak, Bu!” seru rekan-rekan seprofesiku.

Bu Sarah mendekatiku. “Sudah lama nggak melihat kamu. Kamu berubah ya sekarang? Kamu tambah lebih segar.” Aku agak kikuk dibuatnya. “Ini undangan empat bulanan kandungan Ibu. Datang ya!” dia tersenyum hangat. Seketika itu, dadaku terasa sesak.

Ku pandangi tubuh Bu Sarah, dia terlihat lebih gemuk. Aura wajahnya tidak seperti biasanya.Bu Sarah hamil. Setelah 12 tahun menanti seorang kehadiran anak. Dari kejauhan Pak Roy menatapku. Kami saling berpandangan. Dia tersenyum hambar, aku tak membalasnya.

Tanpa berpikir panjang, aku keluar dari kerumunan karyawan yang menyalami Pak Roy dan Bu Sarah satu persatu. Sulit untuk percaya, aku mengalami shok berat. Dalam diam, aku menguatkan tekad untuk memenuhi permintaan Ibu. Kembali ke rumah. Tak kuasa aku menahan ini semua sendiri. Di lain pihak, aku bersyukur. Rindu terlarang yang aku rasakan tidak berakhir di pelaminan. Setidaknya, aku masih menuruti pesan terakhir Bapak kali ini.

------

Ilustrasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun