Bermodal tabungan satu jutaan, Marwan Hakim nekad bangun sekolah di kampungnya, Aik Prapa, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Beragam cibiran ia terima dari warga setempat, tapi penerima Satu Indonesia Awards ini tak takluk pada sinis dan keterbatasan itu. Marwan terus menebar asa lewat pesantren Riyadul Falah di lereng Rinjani. Â
Humaidy masih tak dapat melupakan kejadian pada Agustus 2002. Kala itu, ia mendapat panggilan orangtuanya untuk masuk sekolah menengah pertama (SMP) di Pondok Pesantren Riyadul Falah yang bangun Marwan.
Awalnya, Humaidy mengira akan bertemu dengan ratusan santri. Ternyata, ia hanya berjumpa dua orang murid satu kampung dengannya di Dusun Bornong, 8 kilometer dari lereng Gunung Rinjani dari Desa Aik Prapa.
Humaidy adalah murid pertama Madrasah Tsanawiyah atau setingkat SMP yang dibangun Marwan. Setelah menuntaskan pendidikan sekolah dasar (SD) di kampunganya Bornong, kala itu ia tak pernah berpikir mau melanjutkan ke jenjang SMP hingga sekolah menengah atas (SMA) di Riyadul Falah.
"Saat itu, hanya ada sekolah dasar di kampung. SMP tak ada sama sekali," kata Humaidy pada Selasa, 23 September lalu saat, kami bertemu Pondok Pesantren Riyadul Falah, Aik Prapa.
Humaidy masih berumur 13 tahun saat itu, tadinya sebelum kedatangan Marwan, ia tak punya bayangan melanjutkan pendidkan ke jenjang SMP. Mulanya, alumni pertama SMP Darul Falah ini hendak berladang dan berternak membantu orangtua di kampungnya.
Humaidy pun mesti menerima kenyataan pahit. Langkahnya masuk SMP, sempat terhenti satu tahun, lantaran tak ada SMP di desanya. Dengan kata lain, Humaidy hanya lulus SD. Berkat ajakan Marwan, ia menuntaskan pendidikanya dari SMP dan SMA. Lalu, Humaidy melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Â
Muhsin, 46 tahun membenarkan cerita ini. Tahun 2002 adalah awal Marwan mendirikan Riyadul Falah, bermula dari musolla kecil brukuran 3 kali 4 peninggalan mendiang neneknya, Marwan dan 3 orang murid dari Dusun Bornong, yang persis berada di kaki gunung Lereng Gunung Rinjani. Â
Kisah di balik pembangunan Riyadul Falah cukup menyedihkan. Niat Marwan menjadikan musolla kecil tempat mengngaji anak-anak di kampungnya menjadi sekolah, bukan tanpa hambatan.
Ia menuai cibiran dan cemohan warga Aik Prapa. Lantaran, Marwan sendiri, kala itu hanya jebolan pesantren ibtidakiyah setara SMP di Darul Falah. Salah satu pondok pesantren ternama di Pagutan, Kota Mataram.
Sekitar tahun 2000, di wilayah Bornong dan Aik Prapa, Lombok Timur. Anak-anak nasibnya seperti terbilang banyak. Beberapa kawan Humaidy berkerja ikut membantu orangtua di ladang pun terputus sekolah. Ada yang terhenti sejak SD, lalu tidak lanjut saat SMP. Alasanya, relatif sama, tidak ada SMP dan tak mampu secara ekonomi.
"SMP Riyadul Falah adalah sekolah pertama di Aik Prapa. Murid pertamanya 3 anak dari Bornong," ujar Muhsin guru pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidakiyah, Riyadul Falah, Aik Prapa.
Yuspi, 46 tahun seorang dosen yang berteman baik dengan Marwan juga bercerita bahwa dari 3 orang siswa, musolla kecil dan tekad Marwan yang membantu menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren pertama di Aik Prapa. Kelas pertama SMP muridnya berjumlah 90 anak.
Yuspi tak memungkiri, selain celaan dari warga setempat, alumi SMP Riyadul Falah kesulitan melanjutkan SMA di Aik Prapa, lantaran tak ada sekolah menengah. Setelah Marwan dan para guru berkumpul, mereka sama-sama nekad kali kedua untuk merintis madrasah Aliyah, setingkat SMA pada Februari 2009.Â
"Ustad Marwan bisa bangun sekolah, karena modal nekad dan komitmen pada pendidikan anak-anak Aik Prapa, Lombok," ujar Yuspi teman Marwan, yang kini menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah, Kota Mataram.Â
Modal 1 Juta, Nekad Bangun SekolahÂ
Semuanya bermula, ketika Marwan remaja yang terpaksa putus sekolah karena orangtuanya tak memiliki biaya. Sementara untuk mengenyam pendidik sekolah formal, ia harus jalan kaki lantaran tak ada sekolah formal di kampungnya.
Rabu, 24 siang itu Marwan, 48 tahun baru saja sampai di rumahnya, setelah menghadiri undangan Maulid di masjid Raudatul Falah, Aik Prapa, yang jaraknya sekitar 700 meter dari Riyadul Falah.
Dia mengajak kami duduk meriung bersama Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Lombok Timur di Berugak (gazebo) berukuran 4 kali 6, yang berada persis disamping asrama putra Riyadul Falah.
Duduk bersila sembari bertengger pada tiang gazebo itu, Marwan mengenang kisahnya kala remaja. Di usia masih belia, oleh orangtuanya ia diminta untuk ngaji ilmu agama di madrasah Ibtidakiyah, Darul Falah, Pagutan Lombok Barat saat itu. Selesai tingkat SMP, Marwan Hakim nekad masuk SMA, namun almarhum kedua orangtunya waktu itu, tak sanggup membiayainya.
"Kelar SMP di pondok, saya terpaksa pulang kampung. Di Aik Prapa, ngajar ngaji di musolla kecil peninggalan nenek," kata Marwan mengenang masa remajanya.
Bermula dari guru ngaji dan musolla kecil itu, Marwan bertekad mengajar dan bercita-cita mendirikan sekolah buat anak-anak keluarga kurang mampu dan putus sekolah di kampungnya. Ditambah, tak ada sekolah setingkat SMP dan tingginya pernikahan usia dini di Aik Prapa membuat tekad Marwan kian mantang.
Dengan statusnya sebagai ustad di kampung, ia mengunakan pendekatan agama. Misalnya, ia mengajak anak-anak usia sekolah berkumpul. Awal mulanya, belajar agama. Lalu disela-sela itu, ia menyisipkan pentingnya pendidikan bagi anak-anak.Â
Man jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil). Mantra berbahasa Arab inilah yang diyakini Marwan sejak di mondok di Darul Falah. Al-hasil, para orangtua anak-anak yang belajar ngaji di rumah Marwan mengizinkan anak mereka untuk bersekolah di rumah ustad Marwan.
Mimpi Marwan melihat anak-anak di kampungnya bersekolah, kian mendekati kenyataan. Namun hambatan mengadangnya di depan mata, yakni sekolah yang dikelola Marwan. Bukan sekolah formal.
Berbekal tabungan hasil bertani sebesar Rp 1 juta rupiah dan tanah warisan seluas sekitar 6000 meter persegi, ia gunakan untuk memuluskan tindakan nekadnya mendirikan sekolah formal. Tepatnya, 2004, ia bersama orangtua murid Marwan mewjudukan cita-citanya. Pembangunan dimulai dari 3 ruang kelas.
"Melihat pembangunan waktu itu, warga setempat ikut urunan menyumbang," ujar Marwan, yang sudah menjadi alumnus S1 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbyah Nahdlatul Ulama (STIT NU) Al-Mahsuni, Lombok Timur itu. Â Â
Ada murid, tentu ada pula gurunya. Begitu juga honornya, Setelah tiga lokal berdiri. Kesulitan, guru. Namun Marwan tak kehilangan akal, ia berkeliling ke desa-desa tetangganya untuk mengajak para guru mengajar bertandang dan berbagi ilmu. Ia tak menjanjikan honor tinggi, satu jam pesantren membayar Rp 5000 ribu rupiah.
Walau bayaran seadanya. Banyak guru-guru merasa terpanggil membantu untuk mengajar. Begitu pun banyak orangtua murid yang tiap bulan membawakan hasil panen pertanian dan ladang untuk sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) murid.
"Waktu itu beragam, ada pisang, beras dan singkong," tutur Nurhasanah salah seorang guru SMP pertama Riyadul Falah.
Menurut Nurhasanah sendiri, saat itu ia terpanggil datang mengajar di SMP Riyadul Falah. Karena dia suka mengajar dan bertemu anak-anak. Walau pun, Nurhasanah tak menapikan honor itu perlu. Namun kala itu, bukan satu-satunnya alasan mengajar. Ia beralasan mengabdi dan menebar kebaikan bagi sesama. Â
                                                          ***   Â
Ratusan murid antri masuk dan gedung sudah berdiri. Tantangan lain yang Marwan hadapi ketika membangun pondok pesantren Riyadul Falah adalah izin mendirikan sekolah formal. Menurut Marwan mengurus izin formal ke dinas pendidikan butuh kesabaran tingkat tinggi.
Berulang kali, Marwan bolak-balik melintas jalan rusak mengurus ijin ke Dinas Pendidikan Kabupaten Lombok Timur di Kota Selong, yang jaraknya tempuh sekitar 18 kilometer dari Aik Prapa.
"Kala itu, teman-teman menyarakan menyogok, tapi saya menolak," tutur Marwan sambil menyeka dagunya.
Lebih dari satu tahun mengurus izin sekolah. Akhirnya, mimpi Marwan mendirikan sekolah formal SMP dan SMA di kampungnya tercapai. Hingga kini, sekolah itu pun telah meluluskan sekitar 350 murid SMP dan 157 siswa SMA. Bahkan anak didik Marwan telah menyebar ke perguruan tinggi di NTB hingga ke kampus-kampus besar di Pulau Jawa.
Satu-persatu, mimpi Marwan terwujud. Lantas semuanya tak membuat ia berpuas diri. Menguranggi angka putus sekolah dan pernikahan usia dini di kampungnya adalah cita-cita Marwan sejak belia di usia 16 tahun silam. Â Â Â
Masih di tempat yang sama. Sore itu, menjelang adzan Ashar berkundang, kami tetap duduk ditemani Marwan Hakim di beruqak, tempat ia biasa menerima tamunya. Â
Menebar Asa Bersama Satu Indonesia AwadsÂ
Sepotong pesan singkat itu sampai di telpon gengam Marwan Hakim. Informasi itu datang dari, Roma Hidayat seorang pegiat pekerja migran asal Surabaya Lepak, Lombok Timur. Kabar singkat itu, menyarakan mengikuti ajang tokoh inspiratif perubahan, Satu Indoensia Awards 2013, yang digagas PT Astra Internasional. Â
Satu persatu proses pun diikuti, tanpa membayangkan akan masuk nominasi yang diunggulkan dewan juri. Setelah penantian penjang itu, tak ada angin, hujan pun tiada, kabar baik itu datang dari panitia Satu Indoenesia Awards.
Pendiri Pondok Pesantren Riyadul Falah diganjar penghargaan bergensi dari Satu Indonesia Awards, masuk katagori pelopor dalam bidang pendidikan. Lewat pendidikan, bapak tiga anak ini oleh Satu Indonesia Awads dianggap berkontribusi menyemai semangat perubahan bagi Indonesia yang lebih baik.
Marwan sendiri tak pernah terbersit dalam pikiranya, kerja-kerjanya menggurangi anak buta huruf dan pernikahan dini di kampungya akan menuai penghargaan. Â
"Saat itu, mimpi saja tak pernah, apalagi dapat penghargaan dari lembaga besar seperti Astra Indonesia," cerita Marwan pada kami pada suatu sore di Riyadul Falah.
Setelah balik dari rangkaian kegiatan bersama Satu Indonesia Awads di Jakarta, berbagai lembaga, media lokal dan Nasional bertandang ke Aik Prapa. Nama Desa Aik Prapa menjadi kondang seketika.
Apresiasi ini, berdampak pada perubahan berpikir para orangtua murid dan masyarakat setempat. Tumbuhnya kepedulian dari wali santri dan masyarakat setempat dalam semangat gotong-royong tanpa pamrih, misalnya keterlibatan warga setempat dalam pembangunan fisik dan makin aktif mengikuti pengajian majlis taklim.
"Siswa kami juga makin pecaya diri dan kemauan belajar mereka terus meningkat," tutur Marwan.
Dari Satu Indonesia Awards mengajarkan bahwa perubahan besar selalu bermula dari langkah kecil dan sederhana. Dari obrolan sepanjang hari berama Marwan Hakim, kami belajar tentang pentingnya bekerja dengan hati dan penuh ketekunan.
Ia menginspirasi dengan aksi dan membuktikan bahwa kepedulian lebih kuat dari pada keterbatasan.
Setiap dari kita punya peran, sekecil apa pun. Yuk kita tiru semangatnya, Marwan Hakim untuk menyalakan harapan dan memberi arti bagi tanah air kita, Indonesia. (Ahyar ros).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI