Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nekad Bangun Sekolah, Marwan Hakim Lawan Keterbatasan dan Menebar Asa Bersama Astra

26 September 2025   06:05 Diperbarui: 26 September 2025   06:05 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia mengajak kami duduk meriung bersama Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Lombok Timur di Berugak (gazebo) berukuran 4 kali 6, yang berada persis disamping asrama putra Riyadul Falah.

Duduk bersila sembari bertengger pada tiang gazebo itu, Marwan mengenang kisahnya kala remaja. Di usia masih belia, oleh orangtuanya ia diminta untuk ngaji ilmu agama di madrasah Ibtidakiyah, Darul Falah, Pagutan Lombok Barat saat itu. Selesai tingkat SMP, Marwan Hakim nekad masuk SMA, namun almarhum kedua orangtunya waktu itu, tak sanggup membiayainya.

"Kelar SMP di pondok, saya terpaksa pulang kampung. Di Aik Prapa, ngajar ngaji di musolla kecil peninggalan nenek," kata Marwan mengenang masa remajanya.

Bermula dari guru ngaji dan musolla kecil itu, Marwan bertekad mengajar dan bercita-cita mendirikan sekolah buat anak-anak keluarga kurang mampu dan putus sekolah di kampungnya. Ditambah, tak ada sekolah setingkat SMP dan tingginya pernikahan usia dini di Aik Prapa membuat tekad Marwan kian mantang.

Dengan statusnya sebagai ustad di kampung, ia mengunakan pendekatan agama. Misalnya, ia mengajak anak-anak usia sekolah berkumpul. Awal mulanya, belajar agama. Lalu disela-sela itu, ia menyisipkan pentingnya pendidikan bagi anak-anak. 

Man jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil). Mantra berbahasa Arab inilah yang diyakini Marwan sejak di mondok di Darul Falah. Al-hasil, para orangtua anak-anak yang belajar ngaji di rumah Marwan mengizinkan anak mereka untuk bersekolah di rumah ustad Marwan.

Mimpi Marwan melihat anak-anak di kampungnya bersekolah, kian mendekati kenyataan. Namun hambatan mengadangnya di depan mata, yakni sekolah yang dikelola Marwan. Bukan sekolah formal.

Berbekal tabungan hasil bertani sebesar Rp 1 juta rupiah dan tanah warisan seluas sekitar 6000 meter persegi, ia gunakan untuk memuluskan tindakan nekadnya mendirikan sekolah formal. Tepatnya, 2004, ia bersama orangtua murid Marwan mewjudukan cita-citanya. Pembangunan dimulai dari 3 ruang kelas.

"Melihat pembangunan waktu itu, warga setempat ikut urunan menyumbang," ujar Marwan, yang sudah menjadi alumnus S1 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbyah Nahdlatul Ulama (STIT NU) Al-Mahsuni, Lombok Timur itu.    

Ada murid, tentu ada pula gurunya. Begitu juga honornya, Setelah tiga lokal berdiri. Kesulitan, guru. Namun Marwan tak kehilangan akal, ia berkeliling ke desa-desa tetangganya untuk mengajak para guru mengajar bertandang dan berbagi ilmu. Ia tak menjanjikan honor tinggi, satu jam pesantren membayar Rp 5000 ribu rupiah.

Walau bayaran seadanya. Banyak guru-guru merasa terpanggil membantu untuk mengajar. Begitu pun banyak orangtua murid yang tiap bulan membawakan hasil panen pertanian dan ladang untuk sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) murid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun