Mohon tunggu...
Ahyar Mokodompit
Ahyar Mokodompit Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Anak Desa

Suka Berteman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tradisi Monuntul: Dulu, Kini, dan Nanti

20 Mei 2020   09:28 Diperbarui: 9 Mei 2021   12:49 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi monuntul di Desa Otam

Ohhh, iya... Lampu tuntul dahulu-kala terbuat dari bulu sebagai wadahnya, dan minyak kelapa merupakan bahan bakarnya. Waktu terus berjalan, dengan perkembangannya, wadah tuntul mengalami perubahan: ada yang terbuat dari kaleng cat, botol bekas, dan lain-lain, minyak tanah sebagai bahan bakarnya.

Sembari memasangkan lampu tuntul, penghuni rumah akan membacakan Al-Qur'an surah Al-Qadr. Ada keyakinan yang melekat bahwa, setiap masyarakat yang memasang lampu tuntul, akan mendapatkan keberkahan malam Lailatul Qadar.

Seiring dengan berjalannya waktu, tuntul tidak lagi hanya sekedar seperti yang disebutkan di atas. Melainkan telah berkembang dan menjadi ajang kesenian bahkan diperlombakan. Namun, substansi dari tradisi monuntul tetap ada: yakni harapan mendapat keberkahan malam Lailatul Qadar.

Secara aturan Islam, memang tradisi ini tidak diatur di dalam Al-Qur'an dan Hadist, namun ada dalam Ijma' atau kesepakatan para ulama bahwa tradisi dibolehkan selagi tidak bertentangan dengan tuntunan agama. Islam tidak menentang apalagi menghilangkannya.

Justru dijaga dan diluruskan pemahamannya dengan strategi mengajak umat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan menggunakan metode dakwah yang mengakulturasi, seperti halnya strategi dakwah para ulama dahulu, para Wali Allah; Wali Songo.

Tradisi monuntul ini, seringkali dipermasalahkan oleh kelompok yang saya sebutkan tadi di atas yang berada di tempat saya tinggali, "Ini tidak dicontohkan oleh rasul, tidak ada dalilnya, bid'ah. Meningan nggak usah dibuat." Dengan bangganya mereka mengatakan demikian, seolah-olah merekalah yang paling paham agama. Padahal jika dilihat dari latar belakang pendidikan agamanya, tidak jelas. Saya hanya mengatakan fakta objektif mereka saja, bukan menyinggung atau semacamnya.

Inilah yang saya maksud orang-orang yang beragama Islam yang mengidentikkan 'Islam adalah Arab dan Arab adalah Islam'. Sehingga, apapun yang diluar kebiasaan Arab, dan berlaku di daerah lain, akan tertolak. 

Cara berislam mereka pun tak bermanhaj, tidak mengikuti dan menerima salah satu empat imam mazhab, dan menginginkan langsung saja kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah. Lebih mirisnya, mereka mengatakan bahwa Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali bukanlah Nabi Muhammad Saw. Tidak perlu diikuti, langsung saja pada rasulullah.

Pemahaman semacam itu cenderung tidak mampu menyesuaikan sikap agama mereka dengan mazhab dominan yang digunakan oleh masyarakat setempat. Akhirnya, mereka terasingkan di daerah sendiri dan mungkin dengan sengaja mengasingkan diri. 

Ulama dan para kiai di Indonesia dengan ilmu yang sangat mumpuni yang ditempa di pesantren-pesantren, tidak mempermasalahkan adat dari masyarakat selagi itu tidak bertentangan dengan koridor agama. Namun, tidak jarang para ulama yang notabene latar pendidikannya jelas, dibid'ahkan oleh orang yang latar belakang pendidikan agamanya tidak jelas.

Ada yang mengatakan begini, "Ulama ahli hadist, dibid'ahkan oleh orang yang hafal satu hadist."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun