demokrasi yang menjadi iming-iming meninggalkan banyak rentetan peristiwa.
Innalillah Wa inna Ilahi Rojiun. Saya lebih dulu turut berduka atas tragedi ini. Sudah hampir satu purnama, peristiwa terbesar dalam sejarah peradaban bangsa baru saja dimulai. PestaRentetan itu dimulai dari suksesnya para politisi yang berhasil memperebutkan kursi untuk merambah satu kekuasaan yang susah payah didapatkan. Dramaturgi yang selama ini meraka jalankan, rupanya berhasil. Deretan muka politisi yang selama ini terpampang di jalanan, di bawah baliho itu, berdiri bangunan megah yang punya dua fungsi; hunian para jutawaan dan tempat berbelanja mereka.
Demokrasi adalah produk baru dalam sejarah dunia, sebuah sistem yang merangkul semua dan menyentuh dengan utuh. Sistem yang merangkul kekuatan dari bawah lahir lah pondasi dasar yang kuat.
Saya pernah membayangkan bahwa demokrasi akan menjadi sebuah solusi. Keisitimewahan berada pada keadaulatan rakyat. Kemenangan demokrasi akan tersaji dari senyum sumringah rakyat-rakyat kecil. Mereka menerima sistem sebagai sebuah harapan. Terlepas dari sistem sosial kita yang memisahkan atau bisa dikatakan memberikan ruang diskriminasi. Beda dengan sistem kapitalis misalnya, yang rubi labanya hanya milik orang-orang yang punya modal.
Perwujudan suksesi sebuah proses demokrasi tidak lah mudah, bahkan butuh sebuah kematangan pikiran dan juga tindakan.
Politisi kita yang mengeluarkan uang yang begitu banyak dihantui oleh kekalahan bahkan citra yang buruk, sampai rusaknya nama besar. Sehingga segala cara akhirnya dimuat sebagai dalih untuk amankan kursi kekuasaan, tersajilah sebuah pesta hura-hara yang menghamburkan dana. Maka, demokrasi bukan lagi perseteruan gagasan tapi pertarungan uang hanya karena eksistensi kekuasaan belaka.
Hal ini berjalan sangat mudah, sebab dibantu oleh ketidakpahaman masyarakat atas legal standing meney politic itu. Masyarakat hanya menerima apa saja, kapan saja, dan jumlah paling banyak.
Demokrasi adalah pilihan terburuk dan yang terburuk.
Sedangkan, sekitar bebarapa petugas penyelanggara yang berada di bawah dihantui pula oleh rasa ketakutan jika dalam proses kerjanya ada salah hitung atau keliru menyebut partai politik dan nomor urutnya, sehingga di dalam dadanya tertanam harkat dan martabat untuk memastikan semua proses rekapitulasi berjalan dengan baik.
Tak lagi mengenal lelah, hanya sesekali istirahat, itu pun hanya curi-curi waktu. Di luar garis, beberapa petugas bhayangkara dan abdi TNI juga turut memastikan bahwa selama proses rekapitulasi semua berjalan dengan baik, tak ada gaduh apa lagi keos.
Sistem ini lah yang akhirnya melahirkan banyak tragedi, sebuah catatan yang dibangga-banggakan beberapa hari lalu, berubah menjadi duka.