Di era digital yang sangat berkembang saat ini, media social menjadi tempat untuk bertukar pikiran, berbagi pendapat, dan menyebarkan informasi. Media social juga menjadi tempat untuk mencurahkan isi hati seseorang, membuat review sebuah produk, bertukar lelucon atau meme, dan lain sebagainya. Namun tidak dapat dipungkiri, media social juga sebagai tempat untuk menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Fenomena penyebaran ujaran kebencian ini dapat memicu konflik social dan merusak ekosistem digital jika tidak segera ditangani oleh pihak yang berwajib. Identifikasi emosi dan konteks dalam sebuah tweet, komentar, atau review netizen menggunakan sentiment anlysis kini menjadi Solusi yang bisa mengatasi masalah ini.
Teknologi sentiment amalysis sangat cocok digunakan untuk mendeteksi emosi di balik sebuah komentar, contohnya dalam konteks hate speech, analisis sentiment mengidentifikasi kata-kata atau frasa yang mengandung kebencian, ancaman, atau penghinaan. Algoritmanya dapat dilatih untuk mengenali kata-kata kasar, memahami konteks sarkasme, dan candaan. Teknologi ini bahkan mampu untuk menganalisis jutaan teks dalam waktu singkat, menghasilkan Analisa yang konsisten, dan mengurangi bias subjekif yang sering muncul saat manusia menganalisis teks.
Teknologi sentiment analysis yang semula dirancang untuk mengkategorikan opini secara sederhana menjadi sentiment positif, negative, atu netral, kini dituntut untuk memahami emosi manusia yang jauh lebih rumit. Menurut Dr Sarah Johnson dari MIT Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory dalam peneltiaiannya yang dipublikasikan di Journal of Natural Language Processing (2024) menjelaskan bahwa 67% analisis sentiment konvensional gagal mendeteksi sarkasme dan ironi dalam percakapan di media social. Fenomena ini menjadi semakin krusial seiring meningkatnya penggunaan Bahasa camupran (contohnya mencampurkan Bahasa Indonesia dan Bahasa inggris), Bahasa ambigu, dan Bahasa figurative di dalam percakapan digital.
"Tantangan paling besar saat ini bukan lagi sekedar mengklasifikasikan sentiment, tetapi memahami konteks budaya dan social yang mempengaruhi cara orang untuk mengekspresikan emosi secara digital," jelas Prof. Hiroshi Tanaka dari University of Tokyo dalam konfrensi internasional Conference on NLP 2024. Prof Hiroshi juga memperkirakan bahwa pada 2025 analisis sentiment akan berubah menjadi "emotional intelligence engines" yan tidak hanya menganilsa, tetapi juga bisa memprediksi tren sentiment public dengan akurasi yang lebih tinggi. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam berbagai bidang, mulai dari manajemen krisis hingga pengembangan produk.
Dengan kompleksitas yang semakin rumit, maka dibutuhkan kolaborasi antara ahli linguistic, psikolog, dan ai engineer. "masa depan analisis sentiment terletak pada kemampuannya untuk memamahami apa yang dikatakan, konteks yang diberikan, dan emosi yang ditunjukkan." Ungkap Dr. Mark Thompson.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H