Dalam sistem hukum civil law seperti yang dianut Indonesia, sering muncul ketegangan antara dua hal yang seharusnya berjalan beriringan: kepastian hukum dan keadilan substantif. Civil law menempatkan undang-undang tertulis sebagai sumber hukum utama. Tujuannya jelas, agar masyarakat memiliki pedoman yang pasti tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Namun, dalam kenyataannya, hukum yang kaku sering kali gagal merespons kompleksitas realitas sosial. Tidak sedikit kasus di mana pelaksanaan aturan justru terasa menjauh dari rasa keadilan.
Salah satu contoh yang cukup mengemuka adalah kasus Tom Lembong. Ia dijatuhi vonis oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam perkara yang menyedot perhatian publik. Yang menjadi sorotan bukan hanya soal vonisnya, tetapi terutama pada dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim. Dalam proses persidangan, diketahui bahwa dokumen putusan tersebut sangat tebal, melebihi 1.000 halaman. Karena itu, majelis hanya membacakan bagian inti berupa pertimbangan hukum tanpa mengulang seluruh dakwaan, pleidoi, atau keterangan para saksi yang telah disampaikan sebelumnya.
Dari ringkasan pertimbangan tersebut, diketahui bahwa tidak ditemukan bukti adanya keuntungan pribadi yang diterima oleh Tom Lembong, dan juga tidak ada indikasi kuat mengenai adanya mens rea, yaitu niat jahat atau kesengajaan untuk melakukan tindak pidana. Namun meskipun dua unsur penting itu tidak terbukti secara nyata, hakim tetap memutuskan bahwa Tom bersalah dan menjatuhkan pidana.
Putusan ini memunculkan pertanyaan yang mendasar. Bagaimana mungkin seseorang tetap dijatuhi hukuman pidana jika tidak terbukti adanya niat jahat maupun keuntungan langsung dari tindakannya? Dalam hukum pidana, unsur kesalahan, termasuk niat, merupakan syarat mutlak untuk menjatuhkan pertanggungjawaban. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (nullum crimen sine culpa) bukanlah sekadar prinsip teoritis, melainkan fondasi utama dalam menjamin keadilan.
Dalam praktik peradilan berbasis civil law, hakim pada dasarnya mendasarkan putusannya pada lima hal utama: undang-undang, fakta persidangan, alat bukti, yurisprudensi, dan asas-asas hukum umum. Namun ketika yang ditonjolkan hanya kepatuhan pada teks undang-undang, sementara unsur batiniah pelaku seperti niat dan motif tidak diperiksa secara mendalam, maka putusan hukum bisa kehilangan esensinya.
Pada akhirnya, kasus Tom Lembong memperlihatkan bagaimana pendekatan yang terlalu legal-formal dapat mengabaikan konteks moral dan sosial yang lebih luas. Ketika hakim hanya berpijak pada apa yang tertulis, dan tidak cukup menggali mengapa dan bagaimana suatu tindakan terjadi, maka vonis yang dijatuhkan rentan dianggap tidak adil. Padahal, tugas hakim dalam sistem peradilan bukan hanya untuk menerapkan pasal-pasal hukum, tetapi juga untuk menafsirkan dan menimbangnya dalam kerangka keadilan.
Situasi ini mengingatkan kita bahwa hukum tidak cukup hanya benar secara prosedural, tetapi juga harus adil secara substansial. Sistem civil law memang menjunjung tinggi kepastian, tetapi bila kepastian itu membuat rasa keadilan dikorbankan, maka peradilan kehilangan maknanya. Dalam konteks ini, praktik hukum harus mampu bergerak lebih lentur. Tanpa mengabaikan hukum tertulis, hukum tetap harus peka terhadap nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI