Mohon tunggu...
Ahmad Subagiyo
Ahmad Subagiyo Mohon Tunggu... Apoteker

Tenaga pengajar Program Studi D3 Farmasi Politeknik Tiara Bunda Depok dan penggiat farmasi berkelanjutan. Seluruh tulisan merupakan pendapat/opini pribadi dan tidak mewakili instansi manapun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apotek Desa: Apoteker Masuk Desa Bukan Apoteker Goes To Campus

9 Juni 2025   06:07 Diperbarui: 14 Juni 2025   19:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Jas Putih Tulang (Sumber: Dok. Pribadi/Subagiyo, Ahmad))

CILEUNGSI, SUBAGIYO -- Pemerataan tenaga kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam sistem kesehatan Indonesia. Meskipun jumlah lulusan dari fakultas kedokteran, keperawatan, kebidanan, dan farmasi meningkat tiap tahunnya, distribusi mereka ke daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK) tetap jauh dari merata.

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi ketimpangan ini. Di antaranya, Wajib Kerja Sarjana (WKS), Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT), dan Nusantara Sehat (NS). Ketiga program ini dirancang dalam konteks dan zamannya masing-masing, namun dengan tujuan yang sama: memastikan seluruh rakyat Indonesia mendapatkan layanan kesehatan yang adil dan berkualitas.

Kini, saat tantangan distribusi tenaga kesehatan semakin kompleks, muncul pertanyaan: apakah ketiga program itu cukup? Atau perlu disinergikan menjadi satu sistem yang lebih kuat?

Wajib Kerja Sarjana: Semangat Nasionalisme yang Terlupakan

WKS adalah program wajib nasional yang lahir dari semangat pengabdian. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1961, semua sarjana lulusan perguruan tinggi negeri maupun swasta diwajibkan mengabdi di instansi pemerintah selama tiga tahun.

Namun, sejak bergulirnya reformasi birokrasi dan terbitnya UU Ketenagakerjaan tahun 2003, program ini perlahan surut dari praktik kebijakan. Padahal, semangatnya masih relevan. Banyak pihak, seperti ARSADA (Asosiasi Rumah Sakit Daerah), mendorong agar WKS dihidupkan kembali sebagai strategi distribusi SDM yang sistematis.

Dokter PTT: Fleksibel, Tapi Tak Selalu Stabil

Program Dokter PTT lebih dikenal masyarakat karena fleksibilitasnya. Dokter dapat mendaftar secara mandiri dan ditempatkan di puskesmas atau rumah sakit yang membutuhkan. Gaji yang diterima berkisar antara Rp 3,5 hingga 5 juta per bulan, ditambah insentif daerah jika tersedia.

Namun, program ini juga menyimpan sejumlah catatan. Gaji yang tidak selalu stabil, beban kerja tinggi, dan minimnya fasilitas menjadi keluhan banyak peserta. Tidak jarang, dokter PTT merasa sekadar "mengisi kekosongan", tanpa jaminan jenjang karier yang berkelanjutan.

Nusantara Sehat: Pembinaan Tim yang Menjanjikan

Berbeda dengan PTT, Nusantara Sehat yang diluncurkan pada 2015, menekankan pendekatan tim. Setiap tim terdiri dari tenaga kesehatan lintas profesi seperti dokter, perawat, bidan, farmasis, gizi, hingga analis laboratorium. Penugasan dilakukan secara kolektif dengan pembekalan intensif, pelatihan kebangsaan, serta dukungan tempat tinggal dan insentif bulanan sekitar Rp 7--8 juta.

Program ini terbukti meningkatkan motivasi pengabdian, terutama di kalangan generasi muda. Lebih dari itu, alumni NS juga mendapat peluang melanjutkan pendidikan spesialis melalui jalur beasiswa.

Namun, seleksi ketat dan cakupan yang terbatas membuat NS belum bisa menjawab seluruh kebutuhan daerah, terutama di luar DTPK prioritas.

Distribusi Masih Belum Merata

Data dari Kementerian Kesehatan per Juni 2023 menunjukkan bahwa:

  • 4,17% dari total 10.454 puskesmas tidak memiliki dokter sama sekali.

  • 45% belum memiliki 9 tenaga kesehatan dasar yang ideal.

  • Pemerintah daerah kerap mengalami kesulitan dalam menganggarkan dan menempatkan SDM kesehatan.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa ketiga program yang ada masih berjalan sendiri-sendiri dan belum terintegrasi dalam kerangka distribusi nasional yang kuat.

Menuju Kebijakan yang Lebih Terpadu

Tantangan distribusi tenaga kesehatan seharusnya tidak dijawab dengan pendekatan sektoral. Diperlukan reformasi kebijakan yang menyatukan kekuatan tiga program tersebut ke dalam satu sistem yang lebih responsif, fleksibel, dan adaptif terhadap kebutuhan daerah.

Berikut beberapa opsi kebijakan yang bisa dipertimbangkan:

  1. Menghidupkan kembali WKS dengan pendekatan digital dan kontrak jangka menengah lintas profesi.

  2. Menghubungkan masa tugas PTT dengan jalur afirmasi CPNS atau beasiswa studi lanjut.

  3. Memperluas cakupan NS agar bisa menjangkau profesi kesehatan lain dan daerah non-DTPK yang juga kekurangan.

  4. Membangun sistem data distribusi nasional berbasis kebutuhan riil, ketersediaan lulusan, dan kapasitas daerah.

  5. Mengatur insentif secara adil dan berjenjang, agar pengabdian tidak hanya dilihat sebagai tugas, tapi juga investasi masa depan.

Penutup: Dari Pengabdian Menuju Kepastian

Jika pengabdian terus dipisahkan dari masa depan, maka semangat pengabdian itu lambat laun akan memudar.
Sudah saatnya Indonesia membangun satu sistem distribusi tenaga kesehatan nasional, yang tidak hanya menempatkan tenaga kesehatan ke daerah terpencil, tetapi juga menjamin kualitas hidup dan masa depan mereka.

Karena setiap tenaga kesehatan yang diberangkatkan, sejatinya adalah duta negara. Dan setiap pasien yang ditolong, adalah wujud nyata keadilan sosial yang dijanjikan dalam konstitusi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun