Hari Jumat lalu saya mengalami dua momen yang membuat saya berpikir tentang kebiasaan scrolling media sosial dan dampaknya terhadap kehidupan kita sebagai orang dewasa. Pengalaman pertama terjadi saat shalat Jumat. Ketika khotib berdiri di mimbar menyampaikan khutbah yang semestinya menjadi saat merenung dan memperdalam iman kita, saya melihat cukup banyak jamaah, terutama di shaf bagian belakang, menunduk. Mereka bukan menyimak dengan khusyuk isi khotbah, melainkan sibuk menggulir layar ponsel: membuka media sosial, membaca chat, atau menonton video singkat.
Ketika mengikuti sebuah rapat membahas agenda yang cukup penting, atau dalam pekerjaan sehari-hari, fenomena tersebut juga sering kita temukan. Di tengah pembahasan serius, ada saja peserta yang tampak lebih sering menunduk menatap ponselnya daripada menatap pembicara dan layar presentasi atau menyimak yang disampaikan. Jika pesan dihandphonenya masih terkait dengan pekerjaan atau penugasan, hal itu wajar saja. Namun jika asyik scrolling feed, memeriksa notifikasi sosmed, atau mencari barang yang akan dibeli di platform tertentu, sebetulmya tidak terlalu mendesak dan bisa dilakukan diluar jam rapat.
Dari dua peristiwa ini memberi satu kesadaran penting bahwa  Brain Rot ternyata bukan hanya milik remaja yang kecanduan TikTok atau Instagram, tetapi juga nyata di kalangan kita, orang dewasa yang mestinya sudah paham prioritas, etika, dan pentingnya fokus.
Apa itu brain rot?
Istilah brain rot sejatinya lahir dari bahasa sehari-hari pengguna internet, bukan istilah medis resmi. Istilah ini tumbuh menjadi konsep budaya populer yang menggambarkan kondisi penurunan kemampuan berpikir mendalam akibat kebiasaan mengonsumsi konten dangkal, cepat, dan berlebihan.
Secara ilmiah, fenomena ini punya akar pada bagaimana otak manusia bekerja. Otak kita memiliki sistem penghargaan (reward system) yang dipicu dopamin, zat kimia yang membuat kita merasa senang atau puas. Setiap kali kita menemukan sesuatu yang baru, lucu, atau menghibur di media sosial, otak melepaskan dopamin. Ini menciptakan rasa senang instan, membuat kita ingin mengulang lagi dan lagi.
Konten cepat seperti video pendek, meme, atau update status sering memberi "hit" dopamin yang cepat tetapi dangkal. Berbeda dengan membaca buku atau merenungkan ide yang memerlukan usaha kognitif, scrolling media sosial memberi kepuasan cepat tanpa usaha besar. Lama-kelamaan, otak "dilatih" untuk selalu mencari kesenangan instan, bukan kesenangan yang lahir dari proses berpikir panjang atau mendalam.
Inilah yang disebut sebagai brain rot : otak kehilangan kebiasaan bekerja keras memproses informasi, menjadi malas, dan cenderung hanya ingin hal-hal singkat, sederhana, dan langsung memuaskan. Efeknya, kemampuan konsentrasi menurun, daya kritis melemah, refleksi pribadi semakin tipis, dan kita mudah lelah hanya karena mencoba membaca atau memikirkan hal-hal kompleks.
Bukan cuma soal etika, tapi juga soal produktivitas
Ketika kita scrolling saat khutbah Jumat, sebenarnya bukan hanya soal etika dan adab beribadah yang terganggu. Kita juga kehilangan kesempatan untuk benar-benar mendengar dan merenungkan pesan yang mungkin relevan bagi hidup kita.
Demikian pula di ruang rapat atau saat fullday meeting. Alih-alih sepenuhnya hadir, kita hanya separuh hadir secara fisik, pikiran kita justru terpecah antara presentasi di layar dan video pendek di ponsel. Akibatnya, kita sering tidak benar-benar menangkap inti diskusi, tidak punya ide yang tajam untuk disampaikan, dan hanya menjadi "penonton" dalam rapat sendiri.
Ironisnya, kebiasaan ini sering disertai kalimat pembelaan diri: "Sekedar cek sebentar," atau "Sekalian refresh otak." Namun dalam praktiknya, scrolling jarang berhenti di satu menit. Kita sering terjebak: satu video lucu memicu video berikutnya, satu notifikasi memicu scroll berikutnya.