Beberapa tahun terakhir, publik di berbagai daerah di Indonesia dikejutkan oleh fenomena kenaikan signifikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, warga mengeluhkan lonjakan tagihan PBB yang tak sebanding dengan kemampuan ekonomi mereka. Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini bukanlah sekadar isu perpajakan atau teknis fiskal semata. Ia adalah hasil dari dinamika politik-ekonomi yang kompleks serta wujud dari arah kebijakan publik yang semakin terjebak pada logika fiskalistik. Tulisan ini akan mengupas fenomena kenaikan PBB dari perspektif teori ekonomi politik dan kebijakan publik, menelaah motif dan implikasinya, serta menyajikan kritik terhadap pendekatan pemerintah dalam mengelola perpajakan daerah yang makin memberatkan masyarakat.
PBB merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan bangunan. Sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal pasca-reformasi, kewenangan pengelolaan PBB dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah (pemda) diberikan kewenangan penuh untuk menetapkan tarif dan mengelola PBB sebagai bagian dari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Di satu sisi, desentralisasi ini merupakan langkah positif untuk memperkuat otonomi daerah dan mendorong kemandirian fiskal. Namun, di sisi lain, ia juga membuka ruang bagi pemda untuk menggunakan PBB sebagai alat jangka pendek menutup defisit anggaran tanpa memperhatikan keadilan sosial dan kapasitas masyarakat.
Dalam teori ekonomi politik, pajak bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan alat kekuasaan negara untuk mengatur hubungan sosial, distribusi sumber daya, dan kontrol atas ruang. Berdasarkan pendekatan neomarxis, misalnya, kebijakan pajak seringkali mencerminkan kepentingan kelas dominan, bukan sekadar rasionalitas ekonomi.
Kenaikan PBB dalam konteks ini bisa dipahami sebagai bagian dari restrukturisasi kekuasaan ekonomi atas ruang-ruang urban. Nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang terus meningkat mencerminkan logika kapitalistik dalam pengelolaan kota: lahan dianggap sebagai komoditas, bukan sebagai hak dasar atau tempat tinggal rakyat.
Lebih jauh, hal ini berkaitan dengan apa yang disebut David Harvey sebagai Accumulation By Dispossession dimana proses akumulasi modal melalui pengambilalihan paksa sumber daya dari masyarakat. Kenaikan PBB menjadi alat "Halus" untuk menyingkirkan masyarakat kelas bawah dari ruang-ruang strategis kota, mendorong mereka untuk menjual tanahnya karena tak mampu membayar pajak.
Kebijakan publik idealnya dirumuskan berdasarkan prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Namun, dalam banyak kasus kebijakan kenaikan PBB dilakukan tanpa keterlibatan publik dan tanpa studi dampak sosial-ekonomi yang memadai dan tanpa transparansi dalam proses penentuan NJOP. Alih-alih menjalankan prinsip good governance, banyak pemda memilih pendekatan top-down dan teknokratis, dengan alasan “Penyesuaian nilai pasar”. Padahal, harga pasar tanah tidak serta-merta bisa dijadikan dasar kebijakan fiskal karena pasar properti sangat rentan spekulasi, asimetris informasinya, dan tidak mewakili nilai ekonomi riil bagi masyarakat yang tinggal di sana.
Lebih jauh, banyak daerah juga tidak memiliki mekanisme perlindungan sosial bagi kelompok rentan, seperti lansia, buruh, atau warga miskin kota, yang terdampak langsung oleh kenaikan PBB. Akibatnya, kebijakan ini justru memperlebar jurang ketimpangan dan memarginalisasi masyarakat yang seharusnya dilindungi negara.
Fenomena yang paling mencolok adalah di kota-kota besar yang sedang mengalami ekspansi pembangunan infrastruktur dan gentrifikasi. Di Jakarta, misalnya, pembangunan masif proyek-proyek properti elit, jalan tol, dan kawasan bisnis menyebabkan nilai tanah melonjak. Pemerintah kemudian menetapkan NJOP mengikuti “Nilai Pasar” yang berarti PBB melonjak tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi pemilik lama.
Inilah ironi dari pembangunan kota dimana ketika nilai tanah naik karena intervensi negara dan pasar, beban justru dialihkan kepada warga yang tidak menikmati manfaat langsung pembangunan tersebut. Pemilik rumah yang telah tinggal puluhan tahun di kawasan tertentu mendadak dianggap "Mampu" hanya karena nilai tanahnya naik, padahal penghasilannya tetap. Fenomena ini mempertegas absennya prinsip keadilan fiskal. Keadilan fiskal bukan berarti semua orang dikenai pajak yang sama, tetapi bahwa pajak harus dibebankan secara proporsional dan memperhatikan kapasitas serta kerentanan masyarakat.
Kenaikan PBB juga memperlihatkan adanya pergeseran orientasi fiskal daerah dari redistribusi ke akumulasi. Pemerintah daerah cenderung fokus mengejar target PAD tanpa melakukan reformasi struktural dalam sistem pelayanan publik, efisiensi birokrasi, atau peningkatan akuntabilitas belanja daerah. Ironisnya, sektor-sektor besar seperti korporasi properti, pusat perbelanjaan, dan pemilik lahan skala besar sering kali justru mendapat insentif pajak atau nilai NJOP yang dinegosiasikan secara tertutup. Sementara warga biasa, yang tidak memiliki akses politik dan hukum, tidak punya pilihan selain menerima kenaikan PBB secara sepihak.
Dalam konteks ini, struktur kekuasaan memainkan peran penting. Pemilik modal besar mampu melakukan lobbying atau mendapatkan perlakuan khusus, sementara rakyat biasa terjebak dalam sistem perpajakan yang tidak adil. Ini menunjukkan bahwa pajak terutama dalam konteks otonomi daerah tidak bebas dari relasi kuasa dan konflik kepentingan.
Pajak pada dasarnya adalah instrumen penting bagi negara untuk membiayai pembangunan dan layanan publik. Namun, ketika pajak menjadi alat penindasan yang menyamar sebagai kewajiban warga negara, maka legitimasi negara sebagai pelayan publik patut dipertanyakan. Kenaikan PBB yang tidak mempertimbangkan keadilan sosial dan kapasitas ekonomi rakyat merupakan cermin dari kegagalan negara dalam menjalankan fungsi redistributifnya. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa pembangunan tidak semata-mata untuk jangka pendek.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI