Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Orang kampung di Kabupaten Bandung. Sehari-hari memenuhi kebutuhan harian keluarga. Beraktivitas sebagai guru honorer, editor and co-writer freelance, dan bergerak dalam literasi online melalui book reading and review.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kampung, Kini Mulai Berubah

2 Januari 2019   15:34 Diperbarui: 2 Januari 2019   15:55 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Saya ingin berbagi pengalaman mudik di kampung tempat lahir kedua orang tua. Meski tiap tahun sama lokasi mudiknya, tetapi ada cerita baru. Senantiasa ada cerita dari perjalanan di kampung. 

Di jalan, kawasan Ibun dan Paseh kemudian Kamojang, saat mobil yang ditumpangi menanjak terasa getar khawatir. Terbayang kalau jatuh saat berada di jalan nanjak. Dan tak terduga, kawasan Samarang menuju Pasirwangi (Garut) macet dari sore sampai malam. Kendaraan tersendat-sendat, bahkan satu setengah jam tak bergerak.

Malam yang dingin tak terasa karena tersengat bau asap kendaraan motor dan mobil. Memang nasib di perjalanan demikian, lebih banyak waktu habis di kendaraan ketimbang di lokasi.

Tiba di rumah orangtua, kampung lahiran, mesti lelah tapi tetap harus kerja keras untuk bersih-bersih rumah. Maklum rumah orang tua sudah lama tidak ditempati sehingga tidak terurus meski di lingkungan kampung ada saudara dan keluarga. Setelah beres, kami tidur. 

Esoknya, shalat subuh pun kesiangan. Kami sarapan seadanya. Lalu, pergi ke makam ibu. Ziarah diisi dengan doa, shalawat, dan membaca Al-Qur'an. Kemudian bergerak ke kampung halaman almarhum bapak. 

Perjalanan melewati sawah-sawah, jalan kecil galeungan becek. Kaki tidak beralas dan melewati jembatan bambu bergoyang. Dua jembatan dengan aliran sungai deras dan batu-batuan. Terbayang jika jatuh. Tapi setiap kali melaluinya berjalan dengan baik dan selamat. Di pematang sawah tidak terlihat orang-orang. Sepi dan terasa segar udara.

Kami terus bergerak menuju kampung. Dan tiba di makam kampung, tempat almarhum bapak disemayamkan. Kami ziarah tahunan. Yang dibaca surah-surah Al-Qur'an, doa dan shalawat. 

Di lokasi makam ayah saya, ada pohon jambu batu. Cukup matang. Kami ambil beberapa buah. Sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis bahwa yang berada di tempat umum menjadi milik orang banyak.

Berlanjut ke rumah saudara-saudara. Ngobrol tentang hidup dan aktivitas. Makan dan minum. Setiap saudara dikunjungi dan terlihat banyak perubahan pada fisiknya. Dan saya pun memahami ragam perubahan karena setiap detik dan menit terus berubah.

Bergerak kembali ke lokasi tempat menginap. Namun jalan yang dilewati tidak sama yang ditempuh saat berangkat. Melalui jalur jalan yang berbeda. Melalui gunung, turunan, tanjakan, dan rumah-rumah kampung. Sehingga terasa jauh dan melelahkan. Meski rute bisa ditempuh dengan motor, tetapi kami ingin menikmati perjalanan mudik ini. Maklum setahun sekali dan ini mesti dinikmati. Anggap saja perjalanan mudik ini hiking. Terasa lelah dan seluruh badan nyareri. Dan mungkin ini yang beda dengan perjalanan mudik tahun lalu.

Di daerah dekat kampung yang dilewati, di pinggir hutan bagian atas, keluar mata air deras yang mengalir ke sungai dan mengairi sawah. Mata air itu dikerubuti banyak orang, anak dan dewasa, bermandi di sana.

Airnya terasa dingin dan udaranya pun sejuk. Banyak pohon-pohon. Banyak bambu dan balong (ikan mas dan mujair). Lokasi mata air itu bernama Cimanganten, masuk daerah Pasirwangi, Samarang, Garut.

Kemudian di kampung Babakan Caringin. Ada masjid cukup besar dan tampaknya tidak terawat. Suasana ruangan pun tidak menarik, tetapi luas. 

Dalam masjid, ada Al-Qur'an yang sudah dalam kondisi tidak baik. Tampaknya sering dibaca sehingga lecek dan robek-robek. Yang menarik dari masjid kampung itu sebelum masuk ke ruang utama ada dua kolam. Keduanya digunakan untuk wudhu dan ada yang cuci baju. Airnya mengalir ke parit kecil.

Dan yang lainnya, kami temukan satu madrasah tingkat sekolah menengah pertama di bawah yayasan dan organisasi. Gedung-gedungnya besar dan kelas-kelas dengan kursi dan meja tertata rapi. Dipinggir madrasah tersebut ada kamar-kamar dengan gedung besar dua tingkat. Di depan masjid ada papan nama tertulis sumbangan dari Qatar.

Di sekitar madrasah terdapat kaum perempuan yang berpakaian hitam dan bercadar. Kaum lelakinya bercelana cingkrang. Itu yang tampak saat masuk  ke komplek madrasah. Kami sengaja masuk untuk berteduh dari sengatan matahari yang sedang panas-panasnya.

Ah, ternyata kampung berubah. Kini sudah tidak lagi khas tradisional karena masuk paham agama dari Timur Tengah bergaya Islamisme dan tampaknya akan semakin tergerus tradisi keislaman di kampung halaman yang bercorak Islam Nusantara. Dan kami hanya bisa geleng-geleng kepala. *** (Ahmad Sahidin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun