Mohon tunggu...
Ahmad Rovii
Ahmad Rovii Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya adalah seseorang yang ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenali, Cegah dan Laporkan: Upaya bersama melawan kekerasa seksual

5 Oktober 2025   20:22 Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:21 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan seksual bukan sekadar masalah pribadi, melainkan akibat dari sistem yang menormalisasikan dan budaya patriarki yang terus tumbuh. Menurut Permendikbud No. 55 Tahun 2024, kekerasan seksual mencakup segala bentuk tindakan merendahkan, melecehkan, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang tanpa persetujuan, terutama dalam konteks relasi yang tidak setara. Satu hal yang perlu dipahami, kekerasan ini tidak selalu berupa kekerasan fisik namun bisa juga verbal, digital, atau psikologis, seperti grooming, pemerasan, atau penyebaran konten intim tanpa izin sehingga membuat korban merasa ketakutan dan terancam.Lalu menurut WHO kekerasan seksual bukan hanya berhubungan dengan fisik namun bisa melalui verbal dan digital.

Konsen adalah persetujuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang diberikan dalam kondisi sadar dan tanpa paksaan ataupun ancaman.

FRIES yaitu isi dari beberapa syarat yang bisa diberikan atau syarat konsen terhadap aktivitas seksual, yang pertama F yaitu, Freely Given yang berarti diberikan tanpa adanya suatu ancaman dari sepihak. R yaitu Reversible yang berarti dapat dibatalkan kapan saja oleh alah satu pihak, yang ke tiga yaitu I yang merupakan Informed yang berarti semua informasi disampaikan secara tegas lugas dan tidak ada kebohongan ataupun motif tersembunyi. Yang ke empat yaitu E yaitu Enthuastic yang artinya memberikan konsen dalam keadaan senang, semangat dan keinginan dari dalam diri sendiri. S yaitu Spesific yang artinya alas an yang diberikan untuk aktivitas yang jelas secara rinci dan tidak digeneralisir atau di tambah tambahkan maupun di kurang kurangkan.

Beberapa modus yang sering kali ada untuk melakukan Tindakan kekerasan seksual yaitu;

  • Penyalahgunaan wewenang
  • Manupulasi psikologis
  • Grooming
  • Ancaman
  • Pemerasan

Penyebab terjadinya kekerasan seksual yaitu berawal dari Masyarakat yang sudah menganggap hal tersebut normal dan murni dari kesalahan korban,diperdalam oleh lingkungan yang tidak ramah dan sering kali melakukan kekerasan seksual, contohnya catcalling, lalu masing masing individu yang mulai mengikuti kebiasaan lingkungan yang buruk hingga ke Tingkat Masyarakat. Oleh karena itu secara berurutan awal kekerasan seksual terjadi atau di normalisasikan yaitu dari Masyarakat ke lingkungan dan akhirnya individu yang mulai ikut ikutan.

Mitos yang sering kali diberikan dari Masyarakat bahwa orang orang atau tokoh penting itu tidak dapat dikatakan melakukan kekerasan seksual meskipun kenyataannya orang orang atau tokoh penting itu melakukannya. Beberapa mitos yang beredar dimasyarakat yaitu

  • Respecful peacle tidak pernah melakukan Tindakan kekerasan seksual.
  • Kekerasan seksual hanya dilakukan orang yang tidak dikenal.
  • Kekrasan seksual tidak mungkin dialami oleh laki laki.
  • Selalu ada unsur pemaksaan dalam kekerasan seksual.
  • Kekersan seksual tidak mungkin terjadi pada hubungan pacarana.
  • Kekerasan seksual yang berulang pasrti terjadi karena suka suka.

Inti dari semua bentuk kekerasan seksual adalah tidak adanya konsen yang sah. Konsen harus diberikan secara sadar, bebas tekanan, spesifik, dan bisa ditarik kapan saja. Anak di bawah 18 tahun, orang dalam pengaruh zat psikoaktif, atau individu dengan gangguan kognitif tidak dapat memberikan konsen yang sah. Sayangnya, banyak mitos masih beredar---seperti anggapan bahwa korban "mengundang" kekerasan karena cara berpakaian, atau bahwa kekerasan dalam hubungan pacaran "wajar". Padahal, fakta menunjukkan bahwa laki-laki pun bisa menjadi korban, dan pelaku justru sering kali orang terdekat.

Pencegahan dimulai dari diri sendiri: memahami batas tubuh, berani mengatakan "tidak", dan tidak menyebarkan konten pribadi. Di lingkungan kampus, kita perlu menolak candaan seksis, menjadi saksi aktif (bystander) yang peduli, serta mendukung korban tanpa menghakimi. Jika kekerasan terjadi, langkah terpenting adalah mendengarkan dengan empati, tidak menyalahkan, lalu membantu korban mengakses layanan SPPKS UPI---baik melalui hotline, laporan daring, maupun datang langsung.

Karena pada akhirnya, kampus yang aman bukan hanya soal aturan, tapi soal komitmen bersama untuk saling menghargai, melindungi, dan berani bersuara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun