Mohon tunggu...
Ahmad Rizani
Ahmad Rizani Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Universitas Borneo Tarakan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Quo Vadis Penegakan Hukum di Indonesia ?

29 Januari 2011   03:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau dilihat dari struktur negara kita, Indonesia adalah negara hukum, tapi kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita. Krisis penegakan hukum telah menjamur di negeri ini. Dilematis memang apabila hukum yang bersifat dasar dan mengikat semua pihak itu hanyalah merupakan kumpulan tulisan bahkan kertas belaka yang tidak ada manfaatnya sama sekali.

Negara Indonesia sebagai sebuah negara hukum dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan hak-hak warga negara oleh negara serta mengatur kewajiban-kewajiban masyarakatnya atau penduduknya. Hukum dijadikan dasar atau landasan untuk mengatur segala segi kehidupan yang ada dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai dan tertib hukum. Bila terjadi kejahatan berarti telah terjadi pelanggaran perdamaian atau telah melanggar tertib hukum dalam masyarakat.

Hukum dapat mempertahankan perdamaian yang ada dalam masyarakat dengan melindungi kepentingan­-kepentingan masyarakat seperti kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya sehingga akan dapat menciptakan suatu atmosfir yang memancarkan adanya ketentraman serta kedamaian yang berimbas pada adanya perasaan nyaman dalam setiap anggota masyarakat sehingga akan dapat tercapai apa yang menjadi tujuan adanya hukum yaitu kesejahteraan dan keadilan. Tujuan hukum di atas hanya akan tercapai apabila dalam pelaksanaannya hanya bertumpu dan bertujuan untuk terwujudnya suatu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Ketika semua masyarakat menyadari bahwa saling harga-menghargai dan hormat-menghormati serta menerapkan konsep hidup bertetangga dan bermasyarakat untuk tidak merugikan orang lain, niscaya apa yang menjadi dambaan semua warga masyarakat akan terwujud yakni masyarakat yang sadar dan patuh hukum (law abiding citizen).

Fenomena yang ada saat ini adalah masyarakat melihat bahwa hukum di Indonesia tidak atau belum berpihak pada rakyat kecil sehingga setiap terjadi suatu peristiwa hukum yang melibatkan masyarakat kecil sebagai pelaku/tersangka maka akan dengan cepat ter-blow up oleh mass media. Masyarakat juga beranggapan bahwa hukum tidak menjangkau kalangan atas.

Dari berbagai kasus dari tingkat pejabat sampai rakyat jelata semuanya mengacu pada keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan yang berduit. Yang tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.

Dari situ kemudian terbangun suatu opini publik yang berujung pada keberpihakan mayoritas masyarakat kepada pelaku tindak pidana dari golongan menengah ke bawah dan memberikan simpati yang begitu besar yang terkadang malah terkesan berlebihan. Padahal saat ini pun juga sudah banyak pelaku-pelaku tindak pidana dari kalangan atas yang diproses oleh pihak kepolisian baik yang terkait dalam tindak pidana umum maupun tindak pidana korupsi.

Melihat fenomena yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia saat ini dalam memandang proses penegakan hukum sendiri memang cukup menarik. Beberapa contoh kasus tindak pidana pencurian yang melibatkan masyarakat kecil sebagai tersangka berujung hingga mendapat vonis dari hakim di pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya vonis hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap berarti bahwa yang bersangkutan benar-benar terbukti melakukan tindak pidana. Namun demikian, yang terjadi tetap saja muncul reaksi dari berbagai kalangan masyarakat dan menganggap bahwa memang hukum di negara Indonesia tidak memenuhi rasa keadilan serta tidak berpihak kepada rakyat kecil. Kemudian muncul kesan bahwa justru aparat penegak hukum kepolisian (sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan pidana) yang melakukan penyidikan malah disalahkan. Masyarakat seringkali beranggapan bahwa polisi tidak mampu menyelesaikan serta menjadi mediator antara dua subyek hukum yang terlibat perkara. Masyarakat kemudian terkesan menilai dan menghendaki apabila seseorang mengambil barang yang bukan miliknya karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan makan adalah suatu tindakan yang bisa dimaklumi sehingga tidak perlu diproses sampai ke pengadilan (selesai secara kekeluargaan) dengan argumentasi "masalah kemanusiaan" sebagai alasan pembenar. Sehingga seringkali dijumpai intervensi kepada polisi untuk menyelesaikan kasus tersebut di luar jalur hukum. Dan ketika hal tersebut tidak terpenuhi, polisi disesalkan oleh keluarga tersangka karena tidak bisa menyelesaikan perkara yang dianggap kecil tersebut di luar jalur hukum (sudut pandang keluarga tersangka). Padahal dalam beberapa kasus meskipun hal ini tidak diatur, polisi terkadang sudah secara maksimal melakukan upaya-upaya mediasi namun para pihak tidak menemui kata sepakat sehingga jalan satu-satunya adalah dengan melakukan proses hukum.

Seringkali terjadi di mana pihak korban ataupun keluarganya tetap menghendaki agar pelaku tindak pidana harus tetap diproses sampai ke pengadilan dan polisi tidak mungkin untuk menolak permintaan tersebut. Menolak berarti menimbulkan masalah lain yang merugikan diri petugas polisi yang menangani perkara tersebut maupun institusi Polri secara umum yang dianggap tidak melakukan pelayanan hukum dengan baik kepada masyarakat sebagai korban tindak pidana.

Kondisi yang demikian tentu saja akan menjadi suatu dilema yang cukup berat bagi Polri. Intervensi sering terjadi di saat perkara jelas-jelas sedang dilakukan penyidikan. Jika seseorang pelaku tindak pidana yang sedang menjalani proses penyidikan selalu mendapatkan simpati dan pembelaan yang berlebihan serta selalu ada pemakluman maka ke depan mungkin justru akan menjadi preseden buruk dan sangat berdampak negatif terhadap kultur serta mental masyarakat sehingga akan melekat pengertian yang keliru tentang pelanggaran hukum. Lebih jauh akan terjadi kesan pembenaran serta pemakluman terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran hukum.

Polri tentu saja juga harus bijak dalam melihat dan melayani serta menghargai subyek hukum yang kebetulan menjadi korban tindak pidana dan melaporkan/mengadu ke kepolisian untuk mendapatkan pelayanan dan keadilan serta kepastian hukum. Harus diingat bahwa hukum menganut azas persamaan di muka hukum (equality before the law). Hukum tidak melihat subyek hukum mana dan siapa yang melakukan pelanggaran hukum. Adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap pelaku tindak pidana menjadi kapasitas hakim dalam memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan. Dengan demikian akan ada suatu pembelajaran proses hukum dan efek jera terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum serta terpenuhinya kepastian hukum bagi para pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun