Masih dalam suasana tahun baru hijriyah, tak ada salahnya kita memaknai nilai-nilai yang ada dibalik peringatan tahun baru Islam tersebut. Jika melihat fenomena hijrah belakangan ini, sepertinya perlu diluruskan. Istilah hijrah dalam beberapa tahun terakhir mendadak begitu populer di media sosial. Hijrah seringkali diartikan sebagai seseoarang yang memahami agama. Perubahan orang hijrah langsung begitu drastic. Ada yang langsung bercadar, berjenggot, dan segala macamnya. Apakah itu salah? Tidak. Berpakaian merupakah hak setiap orang. Yang salah adalah hijrah menggunakan sentimen keagamaan, padahal didalamnya adalah menyusupkan bibit kebencian, intoleransi dan radikalisme.
Suka tidak suka itulah yang terjadi. Radikalisme telah menyebar ke publik dengan berlindung dibalik istilah hijrah. Sehingga orang yang berhijrah, dimaknai segala sesuatnya benar. Padahal, pola pikir yang salah, maka outputnya juga berpotensi salah. Karena dari pola pikirnya yang salah, maka ucapan dan perilakunya pun juga ikut salah. Untuk itulah menjadi tugas kita bersama untuk saling mengingatkan.
Hijrah janganlah dimaknai sebagai paling benar, paling suci, paling mengerti Islam, atau perasaan paling yang lainnya. Hijrah bukanlah hanya sebatas tampilan semata. Namun semangat hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah menuju Madinah, juga dibarengi semangat untuk menciptakan tatanan kehidupan yang lebih baik. Ini artinya perkataan dan pola pikirnya harus benar dari awal.
Hijrah juga bukanlah dimaknai hanya bergalu dengan orang yang dianggal shaleh saja, atau kelompok yang dianggap benar. Hijrah harus bisa bergaul dengan siapa saja, tanpa mempersoalkan latar belakang yang melekat. Seringkali karena perbedaan dan keberagaman itulah, membuat banyak orang terprovokasi menebar kebencian antar sesama. Dengan digulirkan informasi yang menyesatkan, seperti karena mayoritas penduduk Indonesia muslim, maka sistem pemerintahannya pun harus berdasarkan Islam, ini berpotensi membuat masyarakat yang literasinya rendah akan mudah mempercayainya. Padahal, informasi tersebut sengaja dimunculkan untuk menyesatkan, agar mereka dengan mudah menyusupkan bibit radikalisme di dalamnya.
Sentimen yang dibangun adalah permusuhan. Yang berbeda dianggap sesat, bahkan kafir. Ketika sentimen kafir dimunculkan, dilanjutkan provokasi untuk saling memerangi. Karena itulah kelompok minoritas masih seringkali merasakan diskriminasi dan ketidakadilan. Ironisnya, pelaku ketidakadilan tersebut dilakukan oleh tetangganya sendiri, atau sesama masyarakat Indonesia. Sementara, kelompok yang mengaku mayoritas tersebut mengaku aksinya tersebut merupakan bagian dari menegakkan agama Islam. Hal inilah yang perlu diluruskan dan dibenarkan.
Tuhan menciptakan bumi dan seisinya ini saling berbeda. Sudah semestinya kita semua menjaga keberagaman itu, tetap lestari agar bisa dinikmati generasi selanjutnya. Ingat, generasi sebelumnya, dari Rasulullah SAW, Wali Songo, hingga di era modern seperti sekarang ini, banyak mengajarkan tentang pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman. Semua agama tidak pernah ada yang mempersoalkan keberagaman. Karena itulah, jika kita memang merupakan penganut agama yang taat, mari hidup berdampingan tanpa harus saling membenci satu sama lainnya.