Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Provokasi Bukanlah Solusi di Masa Pandemi dan Resesi

10 Oktober 2020   22:00 Diperbarui: 10 Oktober 2020   22:07 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah apa yang salah di sebagian masyarakat kita. Setiap apa pun yang terjadi, selalu saja muncul provokasi setelahnya. Selalu saja muncul hoaks dan ujaran kebencian dibelakangnya. 

Setiap kali ada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai, tidak lama kemudian pasti muncul berbagai kritikan yang disertai hoaks, provokasi dan kebencian. 

Kritikan pada dasarnya diperlukan. Namun kritikan harus didasarkan pada data yang benar, bukan pada data yang salah apalagi didasarkan dari kebohongan.

Provokasi jelas memberikan dampak yang sangat buruk bagi kita, lingkungan dan negara ini. Banyak hal yang bisa kita jadikan pembelajaran bersama tentang provokasi ini. Indonesia pernah punya pengalaman buruk terkait maraknya provokasi dan ujaran kebencian di media sosial. Salah satunya adalah ketika pilkada DKI Jakarta beberapa tahun lalu. 

Banyak sekali provokasi bermunculan yang berujung pada penetapan seseorang menjadi tersangka, karena terbukti melakukan pencemaran nama baik. Jauh sebelum itu, juga pernah ada aksi pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang dipicu oleh provokasi di media sosial. Kemarin, aksi pembakaran fasilitas umum ketika demonstrasi UU Omnibus Law Cipta Kerja, jika dipicu oleh disinformasi di media sosial.

Pertanyaannya, kenapa kita seringkali menebar provokasi dan ujaran kebencian? Kenapa kita seringkali melakukan sharing tanpa saring terlebih dulu. Aktifitas semacam ini sempat marak ketika kelompok intoleran aktif menyebarkan propaganda radikalisme di media sosial. 

Nilai-nilai agama seringkali direduksi dan dimaknai dalam arti yang sempit. Akibatnya pemahaman masyarakat tetang agama menjadi sempit. Dan kelompok ini seringkali menggunakan para tokoh, untuk menyebarkan propaganda yang menyesatkan tersebut. Akibatnya, masyarakat pun jadi mudah percaya dan menjadi korban dari provokasi dan kebencian.

Akibatnya, saat ini banyak orang mudah marah, mudah tersinggung, dan mudah menuduh tanpa melakukan cek ricek terlebih dulu. Banyak orang lebih mudah percaya pernyataan orang lain, tanpa memastikan informasi tersebut benar atau tidak. 

Saat ini, jika kita terus mempercayai provokasi dan tidak membekali diri dengan literasi, maka secara tidak langsung kita akan berkontribusi membuat negeri ini hancur. Kok bisa? Lihat narasi kebencian yang selama ini bermunculan. 

Berbeda pandangan dianggap kafir. Berbeda paham dianggap sesat. Dan kalau sudah mendapatkan label tersebut, seakan semua orang bisa menghakimi. Ironisnya, Pancasila juga ikut-ikutan dianggap sesat dan kafir.

Jika kita tidak menjadi generasi yang cerdas, tentu akan sangat disayangkan. Indonesia yang mempunyai generasi muda yang melimpah, justru tidak membekali diri dengan literasi. Padahal, era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, harusnya bisa mempermudah untuk mengakses informasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun