Masih ingat rusuh Papua beberapa bulan lalu? Rusuh yang disebabkan oleh provokasi kebencian di media sosial itu, tidak hanya berujung pada terbakarnya sejumlah bangunan, tapi juga berujung pada meninggalnya seseoarang. Â September 2019 lalu, polisi resmi menetapkan Veronica Koman (VK) menjadi tersangka kasus provokasi terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua (AMP). Penetapan ini berawal dari hasil gelar perkara yang dilakukan penyidik. Polisi mengatakan, postikan VA di media sosial berisi provokasi dan mengarah pada hoaks. Setidaknya ada lima postingan yang berisi hoaks, yang secara sengaja dimunculkan.
Beberapa waktu lalu, ricuh juga terjadi di Jakarta. Ketika itu badan eksekutif mahasiswa menggelar unjuk rasa. Karena provokasi yang dilakukan oleh oknum tertentu, membuat unjuk rasa damai itu berujung menjadi ricuh. Masih banyak lagi provokasi demi provokasi yang sengaja dimunculkan, dan berujung ricuh diantara masyarakat. Kalau sudah begini, tentu kita sendiri yang dirugikan. Sementara pihak-pihak yang memanfaatkan kepentingan, mengambil keuntungan dari ricuh yang terjadi ditengah masyarakat.
Sementara, pihak lain yang juga mengambil keuntungan adalah kelompok radikal. Kelompok ini akan dengan mudah menyusupkan ideologi radikal. Mereka bisa menghembuskan isu khilafah, sebagai solusi atas ketidakadilan, pemerintah yang tidak pro masyarakat, kafir dan segala macamnya. Sementara masyarakat yang dalam kondisi penuh amarah, akan dengan mudah menerima informasi tersebut secara mentah-mentah. Lebih runyam lagi, masyarakat yang literasinya rendah, ikut-ikutan menyebarkan informasi tanpa melakukan saring terlebih dulu. Kondisi inilah yang kemudian bisa membuat potensi konflik di tengah masyarakat.
Sementara itu, Indonesia sebenarnya bukanlah negara konflik. Kenapa masih saja ada pihak-pihak yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara konflik? Indonesia adalah negara yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal dan kegotongroyongan. Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keramahan yang tinggi. Penduduknya terbuka, tapi memilik adat istiadat yang kuat. Begitulah sejatinya masyarakat Indonesia. Seandainya ada perbedaan pendapat atau pandangan, ada mekanisme untuk menyelesaikan persoalan.
Karena itulah, mari kita introspeksi diri. Sudah benarkah tutur kata dan perilaku kita selama ini? Mari kita lihat kembali nilai-nilai yang lahir dan tumbuh di Indonesia. Jangan serap paham yang jelas tidak tepat diterapkan di Indonesia. Mari kita juga harus bijak memanfaatkan perkembangan teknologi. Media sosial bukanlah media untuk menebar kebencian. Media sosial adalah media untuk menguatkan interaksi dan silaturahmi antar sesama.
Dalam setiap agama yang ada pun, juga menganjurkan agar para pemeluknya menjaga tutur kata dan perilaku. Dengan menjaga keduanya, secara tidak langsung kita juga terus mempertahankan budaya Indonesia. Yaitu saling menghormati dan menghargai. Itulah toleransi antar umat beragama, yang telah diadopsi masyarakat Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Karena itulah, mari kita saling berdampingan, saling bergandengan tangan, stop saling menebar kebencian.