Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mahasiswa Dorong Literasi, Kampus Terbebas dari Bibit Radikal

17 November 2018   17:06 Diperbarui: 17 November 2018   17:20 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era teknologi informasi yang begitu pesat, membuat berbagai informasi bisa dengan mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Informasi yang bisa diakses bisa dalam bidang apapun. Hal ini sebetulnya menjadi sebuah keuntungan. Dan bagi para mahasiswa, berbagai kemudahan ini tentu akan bisa membantu mereka dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Wajar kiranya, jika sistem pendidikan saat ini pun pada akhirnya juga mengikuti perkembangan jaman. Pendidikan saat ini mulai banyak mengadopsi kemajuan teknologi informasi.

Mengadopsi teknologi ini ternyata juga digunakan oleh kelompok-kelompok yang ingin menyebarkan propaganda radikalisme. Bibit radikal dan intoleransi itu sebenarnya sudah mulai masuk ke lingkungan kampus, sejak diterapkan keputusan direktur jenderal nomor 26/DIKTI/KEP/2002. Pemerintah melarang segala bentuk organisasi ekstra kampus di perguruan tinggi. Organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), hingga Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) tidak boleh ada di dalam kampus.

Kondisi ini terus terjadi hingga saat ini. Dan tidak sedikit mahasiswa yang terpapar radikalisme dari media sosial. Satu demi satu mahasiswa ditangkap, karena diduga terlibat dengan jaringan terorisme. Tidak sedikit mahasiswa yang bergabung dengan HTI. Bahkan perwakilan mahasiswa dari berbagai Indonesia sempat berkumpul di Bogor, mendeklarasikan dukungan terhadap kekhilafahan. Kondisi ini tentu membuat kita menjadi miris. Generasi yang menjadi penerus bangsa, justru menjadi generasi yang aktif menebar kebencian. Tidak sedikit pula mahasiswa yang sudah pada level radikal, memilih bergabung dengan jaringan teroris. Pada Juni 2018 yang lalu, Densus 88 pernah menangkap tiga terduga teroris yang menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Riau.

BNPT sempat menyatakan, banyak perguruan tinggi yang sudah terpapar bibit radikalisme dan intoleransi. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian bersama, agar tidak banyak anak muda yang menjadi korban propaganda kelompok radikal. Fakta ini menunjukkan bahwa kampus ternyata tidak bisa sepenuhnya bebas dari komunitas radikal. Ada saja upaya dari pihak yang tak bertanggung  untuk menjadikan kampus sebagai tempat suburnya bibit radikalisme. Azumardy Azra pernah dalam sebuah artikel pernah mengatakan, suburnya gerakan radikalisme di perguruan tinggi, karena tidak adanya gerakan tandingan. Mengembalikan univet kegiatan mahasiswa (UKM) seperti pers kampus, merupakan salah satu opsi yang tepat, untuk menguatkan literasi di dalam kampus.

Pers kampus harus mampu memberikan karya-karya yang informative, mendidik dan bisa dijadikan bahan renungan buat para mahasiswa dan seluruh pihak kampus. Pers kampus harus jeli dengan yang terjadi di sekitar kampus. Jangan sampai pers kampus apatis dengan segala hal-hal kecil sekalipun. Berikanlah dasar-dasar pemahaman yang kuat bagi mahasiswa, untuk terus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan dan informasi yang valid. Pers kampus harus terus mendorong para mahasiswa untuk mengedepankan literasi media. Cek ricek menjadi kebutuhan yang mutlak dilakukan di era milenial ini.

HTI sempat menyebarkan bulletin-buletin di kampus-kampus. Buletin semacam ini tentu tidak boleh lagi muncul. Kenapa? Karena HTI terbukti merupakan organisasi yang sengaja ingin mengganti ideologi Pancasila. Karena itulah pemerintah akhirnya memutuskan membubarkan organisasi ini. Namun, ketika HTI dibubarkan, bukan berarti provokasi dan propaganda radikalisme hilang. Media sosial terus digunakan sebagai media penyebaran. Untuk itulah, para mahasiswa juga harus aktif mendorong perguruan tinggi untuk terus mengedepankan literasi, agar terbebasi dari provokasi radikalisme dan intoleransi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun