Mohon tunggu...
Ahmad Rasyid Riadhi
Ahmad Rasyid Riadhi Mohon Tunggu... Apoteker | Molekul Bahagia Malaikat

Buruh pinggir peradaban

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Think Health, Think Pharmacist. Tapi Kalau Pasien Konsultasi ke Google Apoteker Mau Jadi Apa?

25 September 2025   11:49 Diperbarui: 25 September 2025   17:14 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Source: dokumen pribadi via canva)

Setiap 25 September, dunia farmasi merayakan Hari Farmasi Sedunia. Tahun ini temanya lumayan manis: Think Health, Think Pharmacist. Coba resapi sebentar. Kalau bicara kesehatan, pikirkanlah apoteker. Kedengarannya gagah sekali. Tapi, jujur saja: sudahkah di Indonesia, ketika masyarakat bicara kesehatan, yang pertama terlintas di benak mereka adalah sosok apoteker?

Kalau saya jujur, jawabannya: belum.

Yang lebih sering terjadi, apoteker justru lebih dikenal sebagai "penjaga obat", sibuk dengan stok gudang, retur obat, klaim BPJS, dan tumpukan kertas administrasi. Kalau ada pasien yang ingat apoteker, biasanya hanya ketika bertanya harga obat generik yang lebih murah, atau saat keliru membedakan kapsul biru dan kapsul merah.

Padahal, peran apoteker seharusnya jauh lebih besar daripada sekadar distribusi obat. Apoteker adalah penjaga harapan kesembuhan pasien. Obat hanyalah benda mati, tanpa pengetahuan, arahan, dan pengawasan, obat bisa jadi racun atau sekadar pil pahit tanpa makna. Yang membuat obat bisa menjadi harapan adalah apotekernya.

Data global menunjukkan, ketidakpatuhan pasien dalam minum obat (non-adherence) mencapai hampir 50% untuk penyakit kronis. Dampaknya bukan main-main: angka kesembuhan merosot, komplikasi meningkat, kualitas hidup menurun, dan biaya kesehatan melonjak. WHO bahkan menyebut, meningkatkan kepatuhan pasien minum obat bisa lebih berdampak pada kesehatan publik ketimbang penemuan terapi baru yang mahal.

Nah, di sinilah peran apoteker menjadi krusial. Bayangkan pasien hipertensi yang bosan minum obat seumur hidup. Harapannya sederhana: jangan sampai tekanan darahnya meledak jadi stroke. Tapi kalau ia tidak paham kenapa obat harus diminum tiap hari, atau berhenti begitu merasa "sudah sehat", maka obat yang tersedia sebanyak apapun hanya jadi barang di rak. Di titik inilah apoteker bisa menjaga harapan: lewat edukasi, konseling, dan pendampingan.

Sayangnya, sistem kesehatan kita masih lebih suka menempatkan apoteker di belakang meja logistik ketimbang di samping pasien. Kultur administratif dan logistik lebih menonjol ketimbang peran klinis. Akhirnya, apoteker yang berani konseling pasien kadang dianggap "bonus" padahal itu inti profesi.

Ironisnya, kita hidup di era di mana orang bisa konsultasi obat gratis di TikTok atau lewat Google, tapi apoteker yang punya ilmunya bertahun-tahun? masih terjebak pekerjaan yang membuatnya jauh dari pasien.

Hari Farmasi Sedunia tahun ini mestinya jadi momen reflektif: apakah apoteker Indonesia mau terus dikenang sebagai "orang gudang obat", atau mau dikenang sebagai penjaga harapan kesembuhan yang betul-betul hadir di samping pasien?

Think Health, Think Pharmacist bukan sekadar slogan internasional, tapi tantangan moral. Kalau setiap apoteker berani keluar dari zona nyaman---dari logistik ke klinis, dari administrasi ke komunikasi---maka masyarakat pun akan otomatis think pharmacist saat bicara kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun